“Ingat Dion, Bergeraklah dengan cepat dan segera
balik ke mobil karena Merapi dapat meletus kembali sewaktu- waktu dan
aku tak mau ambil resiko kehilangan nyawa karena menunggumu,!” tukas
seorang pria kepada rekannya di bak belakang pick up tim SAR.
“Beres, Bos hasan, haha,!” jawab Dion singkat dan enteng. Matanya merayapi jalanan yang semakin menanjak, pick up SAR yang ditumpanginya menuju dusun terakhir yang perlu dicek ulang karena kadang masih ada penghuni yang bolak- balik ke dusun mereka dengan alasan ingin menyelamatkan binatang ternak ataupun sedikit harta benda pasca letusan Merapi.
Panorama hijau telah bersalin abu- abu, terlapis debu vulkanik.
Nyanyian burung bercengkrama telah berhari- hari tak terdengar.
Lereng Merapi kesepian, setelah melepaskan amarah, ia ditinggalkan.
Angin yang berdesir dari lereng mengisyaratkan ancaman kematian.
Pick up berhenti melaju.
Dion segera meloncat lincah dari atas pick up. Menjejakan kakinya di atas debu vulkanik, matanya menebar pandang. Sunyi dan abu- abu.
“Dion, segeralah cek tujuh rumah disekitar sini. Aku bersama supir akan menungu di depan balai warga ini. Ini dusun terakhir yang perlu di cek, setelah itu kita kembali. Radio panggilmu bisa berfungsi, kan,?” tanya Hasan si kordinator tim.
“Baik, San. Bila dua puluh menit aku tak kembali segeralah pulang, mungkin aku bertemu hantu cantik penunggu lereng, haha,!” jawab Dion sekenanya.\
“BlaAaArrRR,!” Merapi berbatuk seolah menimpali canda Dion.
Hasan menatap cemas ke arah puncak, enam ratus derajat celsius panas debu bukanlah perkara main- main. Ia berharap angin tak membawa debu petaka itu ke arahnya. Ia ingin sedikit lagi bicara namun Dion telah berlalu menuju satu rumah yang terdekat dengan balai warga tempatnya berdiri.
Lima belas menit berlalu.
“Dion, sudah berapa rumah yang telah dicek, segeralah kembali, ganti!” pinta Hasan melalui radio panggil.
“Sudah semua ketujuh rumah dicek, San. Kosong semua, aman, ganti!”
“Ya, sudah tugas kita hari ini telah selesai. Cepatlah kembali, over!”
“Ada satu rumah lagi, San. Anehnya rumah itu tak tergambar di daftar awal padahal rumah itu persis di pinggir jalan. Agak jauh memang, sekitar seratus lima puluh meter dari rumah terakhir. Ada seekor anjing di depan rumah itu, jangan- jangan ada penghuninya. Minta tambah waktu sepuluh menit, over!”
“Baik, lekaslah, over,!” tutup Hasan matanya menatap lembayung senja diujung ufuk cakrawala abu- abu.
Si sopir terlihat bersandar di pohon pinus yang tiada lagi berdaun seraya mengisap rokok kretek, santai.
Sekejap pendar bara rokok membesar…..
…..Bara api di tungku perapian perlahan mulai padam.
Seorang pria muda umur duapuluh enaman melangkah masuk, rambut pirangnya menjadikan nuansa gelap ruang dalam perapian batu itu serasa lebih hidup.
Bertelanjang bulat, membungkuk hormat dengan menekuk satu kakinya kebelakang, seorang dara tujuh belasan berkata, ” Yang Mulia Paduka Dauphin, terima kasih atas kesediaan tuan menemuiku, Joan La Pucelle dari Lorraine.”
“Kenakan pakaianmu. Kulihat engkau bersih tanpa senjata,!” jawab Sang Dauphin setelah yakin bahwa Joan sama sekali bukanlah perempuan belia gila yang perlu ditakutkan. “Kudengar engkau mendapat restu dari Tuhan untuk membawa kemenangan bagi Perancis?”
“Ya, Yang Mulia Paduka, demikianlah adanya,” jawab Joan seraya sibuk mengenakan model baju yang biasa dipakai para pria. Tak lupa, rambutnyapun digelung pula agar terlihat pendek sebagaimana pria.
Menunggu Joan siap untuk bertanya jawab lebih lanjut, Sang Dauphin mengkorek- korek perapian mencoba mencari bara dengan pedangnya seraya bergumam, “Perancis sudah tak memiliki harapan lagi, Joan. Segala strategi dan kemampuan tempur dengan mudah dipatahkan musuh. Saranku untukmu Joan, lupakanlah aku, perang dan Perancis. Carilah seorang pria petani biasa yang akan segera mengawinimu dan hiduplah dengan tenang di bawah bendera Britanica raya.”
“Berilah padaku pasukan Perancis dan bendera, Yang Mulia Paduka. Kan ku menangkan Perancis untuk Paduka. Percayalah, Paduka akan segera dinobatkan sebagai Raja Charles VII di Katedral Reims walaupun kini tengah dikuasai musuh. Biarkan aku membuka jalan untuk itu, Paduka,” jawab Joan mantap seraya berdiri tegap dengan pakaian pria lengkap. Matanya menyinarkan kesungguhan.
“HAHAHAHA, Joan kau bisa saja mengolok- olok ku. Tak ada ruginya memberimu satu dua pasukan, tohk Perancis akan tetap kalah siapapun komandan perangnya, Musuh terlalu kuat, haha…,” usai tertawa Sang Dauphin menyarungkan kembali pedangnya, berbalik badan bermaksud melangkah pergi.
Namun, Joan berdiri tepat di depan hidung menghalangi langkah, “Katakan padaku, Paduka, aku harus bagaimana untuk paduka menaruh percaya?”
Menaikan alisnya Sang Dauphin berkata dalam gurau, “Haha.., datangkanlah saat ini juga, siapa saja orang yang belum pernah aku kenal yang bisa menembus penjagaan pasukanku di Castelo De Chinon ini, Haha! Bukankah katamu, engkau mendapat restu dari Tuhan untuk Perancis, HAHAHA!”
Dion tercenung, langkahnya tertahan. Suara tawa yang berkumandang ditengah padang abu menggidikan bulu romanya. Matanya mengawasi seekor anjing yang juga tengah mengawasinya, pemilik anjing itukah yang bisa tertawa dahsyat di tengah segala bencana ini, bisik hati Dion bertanya- tanya.
Mengetahui kedatangan manusia, si anjing spontan melengos acuh, lantas keempat kakinya memasuki rumah yang juga menjadi tujuan langkah kaki Dion.
Dion benar- benar gusar, tak disangkanya di tengah ancaman letusan Merapi masih bisa ada manusia yang tertawa terbahak- bahak sedemikian kerasnya. Tanpa permisi dimasukinya rumah dimana anjing yang telah dilihatnya itu menghilang. Disiapkan amarahnya untuk dapat segera meledak, di detik pertama saat ia bertemu dengan si empunya rumah.
Empat pasang mata beradu pandang dalam kejut.
Si anjing meringkuk di kaki Joan, tak diduga olehnya Dion berani menyambanginya di hadapan majikannya.
Joan menatap Dion tak berkedip, hatinya berbisik lirih, Tuhankah yang telah megirim manusia berpakaian aneh dengan warna oranye bertuliskan SAR di dadanya itu?
Dion terlongo menatap dinding beraroma masa lalu di hadapannya. Terlebih, penghuninya seorang gadis dan pria Perancis dalam pakaian militer abad pertengahan.
Sang Dauphin tercekat menatap Dion seraya bergumam, “Kan ku berikan satu pasukan lengkap dan juga pedangku untukmu, Joan…”
“Beres, Bos hasan, haha,!” jawab Dion singkat dan enteng. Matanya merayapi jalanan yang semakin menanjak, pick up SAR yang ditumpanginya menuju dusun terakhir yang perlu dicek ulang karena kadang masih ada penghuni yang bolak- balik ke dusun mereka dengan alasan ingin menyelamatkan binatang ternak ataupun sedikit harta benda pasca letusan Merapi.
Panorama hijau telah bersalin abu- abu, terlapis debu vulkanik.
Nyanyian burung bercengkrama telah berhari- hari tak terdengar.
Lereng Merapi kesepian, setelah melepaskan amarah, ia ditinggalkan.
Angin yang berdesir dari lereng mengisyaratkan ancaman kematian.
Pick up berhenti melaju.
Dion segera meloncat lincah dari atas pick up. Menjejakan kakinya di atas debu vulkanik, matanya menebar pandang. Sunyi dan abu- abu.
“Dion, segeralah cek tujuh rumah disekitar sini. Aku bersama supir akan menungu di depan balai warga ini. Ini dusun terakhir yang perlu di cek, setelah itu kita kembali. Radio panggilmu bisa berfungsi, kan,?” tanya Hasan si kordinator tim.
“Baik, San. Bila dua puluh menit aku tak kembali segeralah pulang, mungkin aku bertemu hantu cantik penunggu lereng, haha,!” jawab Dion sekenanya.\
“BlaAaArrRR,!” Merapi berbatuk seolah menimpali canda Dion.
Hasan menatap cemas ke arah puncak, enam ratus derajat celsius panas debu bukanlah perkara main- main. Ia berharap angin tak membawa debu petaka itu ke arahnya. Ia ingin sedikit lagi bicara namun Dion telah berlalu menuju satu rumah yang terdekat dengan balai warga tempatnya berdiri.
Lima belas menit berlalu.
“Dion, sudah berapa rumah yang telah dicek, segeralah kembali, ganti!” pinta Hasan melalui radio panggil.
“Sudah semua ketujuh rumah dicek, San. Kosong semua, aman, ganti!”
“Ya, sudah tugas kita hari ini telah selesai. Cepatlah kembali, over!”
“Ada satu rumah lagi, San. Anehnya rumah itu tak tergambar di daftar awal padahal rumah itu persis di pinggir jalan. Agak jauh memang, sekitar seratus lima puluh meter dari rumah terakhir. Ada seekor anjing di depan rumah itu, jangan- jangan ada penghuninya. Minta tambah waktu sepuluh menit, over!”
“Baik, lekaslah, over,!” tutup Hasan matanya menatap lembayung senja diujung ufuk cakrawala abu- abu.
Si sopir terlihat bersandar di pohon pinus yang tiada lagi berdaun seraya mengisap rokok kretek, santai.
Sekejap pendar bara rokok membesar…..
…..Bara api di tungku perapian perlahan mulai padam.
Seorang pria muda umur duapuluh enaman melangkah masuk, rambut pirangnya menjadikan nuansa gelap ruang dalam perapian batu itu serasa lebih hidup.
Bertelanjang bulat, membungkuk hormat dengan menekuk satu kakinya kebelakang, seorang dara tujuh belasan berkata, ” Yang Mulia Paduka Dauphin, terima kasih atas kesediaan tuan menemuiku, Joan La Pucelle dari Lorraine.”
“Kenakan pakaianmu. Kulihat engkau bersih tanpa senjata,!” jawab Sang Dauphin setelah yakin bahwa Joan sama sekali bukanlah perempuan belia gila yang perlu ditakutkan. “Kudengar engkau mendapat restu dari Tuhan untuk membawa kemenangan bagi Perancis?”
“Ya, Yang Mulia Paduka, demikianlah adanya,” jawab Joan seraya sibuk mengenakan model baju yang biasa dipakai para pria. Tak lupa, rambutnyapun digelung pula agar terlihat pendek sebagaimana pria.
Menunggu Joan siap untuk bertanya jawab lebih lanjut, Sang Dauphin mengkorek- korek perapian mencoba mencari bara dengan pedangnya seraya bergumam, “Perancis sudah tak memiliki harapan lagi, Joan. Segala strategi dan kemampuan tempur dengan mudah dipatahkan musuh. Saranku untukmu Joan, lupakanlah aku, perang dan Perancis. Carilah seorang pria petani biasa yang akan segera mengawinimu dan hiduplah dengan tenang di bawah bendera Britanica raya.”
“Berilah padaku pasukan Perancis dan bendera, Yang Mulia Paduka. Kan ku menangkan Perancis untuk Paduka. Percayalah, Paduka akan segera dinobatkan sebagai Raja Charles VII di Katedral Reims walaupun kini tengah dikuasai musuh. Biarkan aku membuka jalan untuk itu, Paduka,” jawab Joan mantap seraya berdiri tegap dengan pakaian pria lengkap. Matanya menyinarkan kesungguhan.
“HAHAHAHA, Joan kau bisa saja mengolok- olok ku. Tak ada ruginya memberimu satu dua pasukan, tohk Perancis akan tetap kalah siapapun komandan perangnya, Musuh terlalu kuat, haha…,” usai tertawa Sang Dauphin menyarungkan kembali pedangnya, berbalik badan bermaksud melangkah pergi.
Namun, Joan berdiri tepat di depan hidung menghalangi langkah, “Katakan padaku, Paduka, aku harus bagaimana untuk paduka menaruh percaya?”
Menaikan alisnya Sang Dauphin berkata dalam gurau, “Haha.., datangkanlah saat ini juga, siapa saja orang yang belum pernah aku kenal yang bisa menembus penjagaan pasukanku di Castelo De Chinon ini, Haha! Bukankah katamu, engkau mendapat restu dari Tuhan untuk Perancis, HAHAHA!”
Dion tercenung, langkahnya tertahan. Suara tawa yang berkumandang ditengah padang abu menggidikan bulu romanya. Matanya mengawasi seekor anjing yang juga tengah mengawasinya, pemilik anjing itukah yang bisa tertawa dahsyat di tengah segala bencana ini, bisik hati Dion bertanya- tanya.
Mengetahui kedatangan manusia, si anjing spontan melengos acuh, lantas keempat kakinya memasuki rumah yang juga menjadi tujuan langkah kaki Dion.
Dion benar- benar gusar, tak disangkanya di tengah ancaman letusan Merapi masih bisa ada manusia yang tertawa terbahak- bahak sedemikian kerasnya. Tanpa permisi dimasukinya rumah dimana anjing yang telah dilihatnya itu menghilang. Disiapkan amarahnya untuk dapat segera meledak, di detik pertama saat ia bertemu dengan si empunya rumah.
Empat pasang mata beradu pandang dalam kejut.
Si anjing meringkuk di kaki Joan, tak diduga olehnya Dion berani menyambanginya di hadapan majikannya.
Joan menatap Dion tak berkedip, hatinya berbisik lirih, Tuhankah yang telah megirim manusia berpakaian aneh dengan warna oranye bertuliskan SAR di dadanya itu?
Dion terlongo menatap dinding beraroma masa lalu di hadapannya. Terlebih, penghuninya seorang gadis dan pria Perancis dalam pakaian militer abad pertengahan.
Sang Dauphin tercekat menatap Dion seraya bergumam, “Kan ku berikan satu pasukan lengkap dan juga pedangku untukmu, Joan…”
0Awesome Comments!