Juan,
sebutlah namanya, seorang pria mendekati 40-an. Masih terlihat jelas
di wajahnya kegantengan nan memukau pada masa muda. Cerita ini diangkat
berdasarkan kisah nyata yang dialami empunya nama belasan tahun lalu
di masa ia masih menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta
yang cukup beken di Ibukota.
“Esok pagi, tepatnya satu hari menjelang Valentine adalah puncak karierku sebagai seorang Casanova. Ya, karier yang tak seorangpun di kampus ini tahu, bahkan tidak juga para korban rayuanku. Tak satupun diantara mereka membenciku. Hmm.., para wanita korbanku selalu beranggapan akulah si pelipur lara rahasianya. Ya, pelipur lara rahasia! Tak satupun dari wanita yang pernah kucumbu itu tak punya pacar, gandengan atau malah tunangan! Kacamata minusku telah melindungi sepak terjangku, menurut para mahasiswa akulah si Cemen atau si Cupu dengan kekasih segala diktat dan buku. Akan tetapi, menurut kekasih mereka yang cantik-cantik itu, akulah tempat berlabuh segala duka dan luka karena cinta,” bathin Juan tersenyum lebar.
Masih diingat Juan, keringat lelah Sinta, peluh letih Linda dan wajah lepas bebas Yosy bak musafir gurun yang kehausan menemukan jernihnya air sebuah oase. Jelas terngiang ditelinganya, jerit Desi, erangan garang Dian dan lenguhan berat Tita sebelum tertidur sepulas-pulasnya. Di pelupuk matanya, masih ada terbayang banyak Ekspresi raut wajah korbannya ketika mereka ia bawa terbang ke puncak. Ia merelakan punggungnya menjadi wadah relief banyak kuku-kuku lentik korbannya. Ia sediakan jemarinya menjadi pelampiasan gigi-gigi ketimun mereka.Bahkan tak jarang rambutnya menjadi korban jambakan liar teman-teman wanitanya yang notabene, mereka itu adalah kekasih rekannya sesama mahasiswa juga.
Geli hati Juan ketika suatu saat Siska bertanya di tengah rasa rileks menikmati derasnya kucuran keringat, “Juan, kok kamu lain ya? Lebih mantap dari si Rio pacarku bahkan si Bram pacar pertamaku yang pebasket itupun ngak ada apa-apanya, lho?” Tertawa hati Juan, saat Kartika meratap padanya di meja kantin kampus, “Juan, sumpah deh, si Angga itu payah betul tak lebih dari 2 menit. Kapan lagi donk, Juan?”
Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat rahasia serupa yang meluncur dari bibir para korbannya saat mereka sakauw kecanduan.
Tak satupun dari para pecandu itu yang tahu bahwa ia sebenarnya seorang Casanova yang berhasil membantai seluruh anggota sebuah genk yang terdiri dari para mahasiswi hi-class. Tak satu katapun cerita tentang kisah asyik masyuknya keluar kepasaran. Ia, seorang mahasiswa kutu buku tak punya pacar, itu saja!
Menatap hasil sisiran rambutnya kedalam cermin almari kamar tidurnya, ingatan Juan melayang tatkala Bu Dosen Rara yang masih cuahaaanntttiikkkk dalam usia 33 -an itu meminta tolong untuk mengantarnya esok pagi ke Bandung. “Juan, Esok pagi kamu bisa tidak, tolong kemudikan mobil saya ke Bandung. Adik suami saya akan menikah disana bertepatan dengan hari Valentine. Saya khawatir, karena kesibukan mempersiapkan akad dan resepsi, suami saya, tak bisa datang menjemput. Bagaimana, bisakan kamu?”
Hampir saja mata Juan melompat keluar karena SureEEpeeraaAAiiisssezzz, jika saja ia tidak ingat, matapun harus terlihat lembut hingga para calon korban merasa nyaman dan aman. Juan, mengetahui betul kata nenek, “jika seorang pria berduaan dengan seorang wanita maka orang ketiganya adalah setan!”
Demikian halnya dengan Bu Dosen Rara, jika berduan dengannya esok hari, ia berharap ada seribu setan garong menemani demi kesuksesan misinya. Sekalipun sebenarnya Bu Rara itu adalah istri dari Dosen seniornya sendiri, ia tak peduli bahkan setanpun mendorongnya untuk tak peduli. itulah puncak karier seorang CASANOVA sejati, berhepi-ria dengan istri orang tanpa ketahuan!
Pagi 14 Februari, Juan memacu motor
kreditannya kearah Mampang Prapatan, area dimana Bu Dosen Rara dan
suaminya, Pak Dosen Senior bertempat tinggal. Tiba di depan elang rokok
yang bersarang di pinggir mulut sebuah gang yang hanya cukup dilalui
satu buah motor dan satu buah mobil, Juan menghentikan motornya.
“Pak, ada Getsbi,?” tanya Juan pada empunya elang rokok.
“Getsbi? O, ada? Berapa?”
“Satu saja, Pak,” jawab Juan seraya menyerahkan selembar lima ratusan bergambar kijang kencana.
Setelah menyeka wajahnya dengan perfume tissue, Juan menyemprot sekujur kemejanya dengan senjata andalannya, Drakar Noir.
Empunya elang roko terbengong-bengong melihat kelakuan Juan, hidungnya kembang kempis kebagian sisa uap dari Drakar.
Juan tak peduli, ia tahu benar, Drakar Noir
adalah aroma therapy khas padang rumput Arkansas yang mampu
mengeksploitasi sisi-sisi kejantanan pria hingga tampil lebih mudah
untuk membangkitkan libido kaum hawa. Ajaib, tiba-tiba sekujur tubuh
Juan dilingkupi oleh cahaya Ke-PeDe-an berwarna jingga keemasan.
Sekali lagi, empunya elang rokok geleng-geleng sambil berkelakar, “Tarik maaaaanngggg!”
Juan hanya tersenyum simpul. Di arahkan
motornya pelan-pelan menyusuri gang menuju rumah Bu Dosen Rara seraya
tak lupa berdoa dalam hati,”Semoga setan benar-benar hadir diantara aku
dan Bu Rara, amin”
Berhenti di depan pagar sebuah rumah asri yang
terbuka, Juan celingukan. “Huaaahh, kok ada 2 mobil? Wuaaahhh ada mobil
Pak Dosen senior juga, gawat nih!” Kecut, Juan bersiap ambil seribu putaran roda motor (Untuk pejalan kaki : ambil seribu langkah).
Terlambat!
“Ahk, kamu Juan. Sudah datang. Hayo
masuk,!” ajak Pak Dosen Senior dari balik kap mobil yang terbuka,
rupanya beliau sedang mengutak-utik mesin mobilnya sebagai persiapan
untuk perjalanan jauh luar kota. “Saya baru sampai dari Bandung subuh
tadi. Ini lagi cek mobil, kan harus siap untuk dipakai balik ke Bandung
lagi”
Juan mengangguk-anguk, kikuk. “Sialan doaku meleset yang datang bukan setan tapi jin tomang,!” rutuk Juan penuh sesal.
“Oh, kamu, Juan. Syukurlah kamu sudah
datang,” tegur Bu Dosen Rara keluar dari balik pintu. Beralih kepada
suaminya, Pak Dosen Senior, ia berkata manja, “Ayo, Pap! Sudah ada Juan,
kita bisa segera berangkat ke Bandung sekalian berlibur 3 hari
disana.”
“Olala, apa- apaan ini?” rutuk hati Juan tak mampu buka mulut.
“Gimana sih kamu, Mam? Juan baru saja tiba, kok belum ditawari minum malah ngajak segera jalan!”
“O, iya, Juan, kamu mau minum apa? Teh, Kopi atau Sirup?”
“Oh, ndak usah, Bu. Saya sudah sarapan dan
minum susu tadi pagi, kok. Jangan repot-repot, Bu,” sahut
Juan, tak enak hati sembari hatinya gerutu “Bah! Susu kuda liar ndak guna!”
“Ya, sudah kalau begitu. Nanti kamu bisa
bikin sendiri, Juan. Soalnya kami akan bepergian 3 hari dan kamu jagain
rumah saya, ya?” tukas Bu Dosen Rara riang tanpa dosa.
Pak Dosen menatap Juan dengan pandangan memohon.
Juan kagok tidak karuan segera anggukan kepala, “iya, Bu.Iya!”
“Kalau begitu, ayo kita segera berangkat,!” putus Pak Dosen sambil menutup kap mobil.
“Ini sudah siap, kok Pap. Vita, ayo cepat keluar! Kita sudah mau jalan nih,!” panggil Bu Dosen Rara.
Tak lama seorang gadis kecil yang berusia 5
tahunan, putri pasangan Bu dan Pak Dosen berlari keluar bak cinderela
kesasar langsung masuk pintu depan mobil dan duduk manis disebelah
jok kemudi.
Ketika mobil meninggalkan garasi, dari
balik kemudi Pak Dosen berpesan, “Juan, baik- baik ya! Anggap saja
liburan 3 hari di rumah sendiri. Jangan lupa kalau tidur kunci dulu
garasi dan pintu depan, ya! Oh, ya anjing saya, si Bleki buntut kecil
setiap pagi ajak jalan jalan muter-muter taman supaya tidak e’e di
dalam. Jangan lupa makanannya ada di bawah kaki meja teras. Terima
kasih ya, Juan. Daaaa….”
Juan
melongo takjub sembari mundak- munduk gaya orang Jepang ketemu Boss.
Jauh dipojok teras rumah seekor anjing Doberman dewasa berbulu hitam
mengamatinya sembari menggerakkan ekornya yang cuma sepanjang 5 cm dan
memamerkan taringnya,” Grrrr…! Jangankan 3 hari, sehari aje, gue abisin loe!!!”
0Awesome Comments!