sultonenterjava.deviantart.com |
“Mantri Besar Prapanca yang menyambut dan menempatkan tetamu di Pesanggrahan Agung Bubat itu, ya Mapatih Gajah Mada,” jawab seorang diantara yang baru datang seraya bersikap santai mengambil tempat duduk bersebelahan dengan tuan rumah. Tindakannya diikuti rekannya, duduk santai di teras rumah megah yang berhadapan dengan panorama Gunung Anjasmara yang berdiri gagah di tepi batas siluet biru cakrawala kotaraja.
Gajah Mada segera membalik dua cangkir giok hijau dari posisi tertelungkup. Satu tangannya meraih gagang kendi giok yang sudah lama berdiri anggun menantang di atas meja bundar kayu jati coklat tua.
Air sulingan Aren segera memenuhi tepi bibir ke dua cangkir.
“Silahkan diminum, Panglima Nala dan Senopati Utama, Wiraraja. Sungguh hanya dengan bantuan kalian berdua, aku, Gajah Mada dapat mencegah lembayung malapetaka yang membayang di atas langit Majapahit ini.”
“Ya Mapatih, kami telah bersamamu berpuluh tahun. Kami berdua tidak pernah menghianatimu dan kami selalu siap korbankan jiwa raga untuk Raja dan Majapahit. Lembayung petaka apakah itu, wahai Mapatih?” sambut Wiraraja sekaligus bertanya.
“Aku percaya Senopati Wiraraja, memang engkaulah pamungkasnya Majapahit.” Menarik napas sejenak, Gajah Mada melanjutkan getir, “Namun saat ini Raja yang akan menghianati Majapahit.”
“Hah,!” Nala menoleh kaget ke arah tuan rumah disertai pelototan tajam mendesak penjelasan.
“SrrrttTTT….!” Wiraraja mencabut keris yang terselip dipinggangnya. Masih dalam posisi duduk di sebelah Nala, Wiraraja menggeram bak Harimau luka, “Ya Mada, telah kulalui berpuluh ekspedisi malang melintang untuk Majapahit hingga rambutkupun memutih. Sekarang jelaskan katamu itu atau keris ini akan segera keluar dari warangkanya, untuk mandi darahmu!”
“Sabar Senopati, Mapatih Gajah Mada tidak mungkin bicara sembarangan apalagi mengenai Raja. Dengarkan penjelasannya dahulu. Aku, Nala tak akan ragu menyeretnya ke Mahkamah Nagara bila memang, Mapatih hanya melemparkan dusta dan fitnah terhadap Raja.”
“Tidakkah kalian berdua tahu bahwa kedatangan rombongan Sunda untuk mengambil Raja sebagai mantu? Raja akan pergi ke tanah Sunda dan menjadi Raja disana. Bila Pernikahan Agung itu terjadi, pastinya Majapahit akan menjadi wilayah bawahan Sunda,” balas Gajah Mada, heran. Mengapa kedua tamunya tidak mengetahui keputusan kenegaraan sepenting itu.
Di kejauhan pandang, serombongan burung bagai noktah- noktah hitam terbang dalam formatur yang indah menuju lereng biru Gunung Anjasmara.
“Mereka tidak bermaksud menghantar Putri Sunda kemari untuk menjadi Permaisuri Majapahit. Pihak wanita yang datang berbesan!? itu tidak lazim! Percayalah, kedatangan mereka hanya untuk memamerkan kecantikan Putri Sunda, mengambil hati Gusti Prabu dan memboyong beliau pergi,!” tambah Gajah Mada.
“Sungguh aku buta politik, ya Mapatih. Demi keluhuran budi, Maafkanlah Wiraraja karena telah berlaku begitu kurang ajar, ya Mapatih,” tukas Nala geleng- geleng selepas tercenung beberapa saat.
“Ia bisa meminta maaf sendiri padaku, ya Panglima,” sahut Gajah Mada seraya menatap Wiraraja dingin.
“Ampuni aku, ya Mapatih dan teruslah jelaskan pada kami duduk persoalannya. Sungguh kami hanya tahu sedikit strategi tempur dan keprajuritan. Benar kata Panglima, aku buta politik, ya Mapatih,” ucap Wiraraja menunduk malu seraya tangannya menyelipkan kembali keris ke belakang pinggangnya.
Menghela napas panjang, Gajah Mada berkata pada Wiraraja, “Raja akan menghianatimu, Senopati. Menghianati jerih payahmu menaklukan seantero jagat!” Mengalihkan pandangan ke Nala, iapun menyambung, “Raja juga akan menghianatimu, Panglima. Menghianati segala susah payahmu membesarkan angkatan perang Majapahit! Raja, ia akan menghianati segala pengorbanan kawula dan seluruh rakyat anak nagari. Sekali lagi kukatakan kepada kalian berdua, Raja akan menghianati Majapahit dengan menjadi Raja di Sunda dan memindahkan Ibukota ke sana! Dan kita akan menjadi petinggi negara kelas bawah, segera!!”
Hening.
Angin berdesir mengajak dedauan di pucuk pohon samping kiri kediaman Gajah Mada menari.
Debu merayap anggun di atas permukaan bumi.
Helaan napas ketiganya menutup kebisuan.
Gajah Mada meraih cangkir dan menenggak isinya habis.
Nala diam tafakur hanya tangannya memutar- mutar cangkir diatas meja, gelisah.
Wiraraja tanpa sopan santun menandaskan isi cangkir lantas meletakan cangkir dengan keras keatas meja, “Braa..Aa…~~
…~~aAk.!” sekepalan tangan menghantam meja ruang dalam pesanggrahan Bubat, penuh semangat empunya berkata, ” Majapahit pasti akan jatuh ke tangan Sunda, Dinda Permaisuri. Kita berdua akan dengan tenang menikmati sisa hidup di biara karena seantero Nusantara akan berada di bawah Sunda. Hayam Wuruk, ia cucu pamanku Jaka Tanduran Wijaya dan memanglah pantas ia meneruskanku mengemban tahta Sunda.”
“Kanda Prabu Linggabuana, Dinda juga merasa sudah saatnya kita bersiap menjemput nirwana di biara. Dinda akan menemani Kanda, setia hingga akhir hayat,” jawab permaisuri tanpa ragu seraya kedua tangannya sibuk meraba daun telinganya, sibuk melepaskan anting yang terbuat dari permata mutu manikam yang berkilau~~….
…~~Kemilau air sendang menyambut dua sosok tubuh wanita separuh baya yang berbalut kain batik setinggi lutut sebatas atas dada.
Seiring dengan hadirnya kematangan usia keduanya, kecantikan mereka bertambah- tambah. Tak mau kalah cepat berlomba dengan keanggunan.
Aneka bunga menggeliat di atas permukaan sendang, menepi untuk memberi tempat keduanya bercengkrama.
“Dinda Rajadewi BreDaha, kuharap keputusanku mengungsikan Putraku, Hayam Wuruk ke tanah Sunda tidak keliru,” ujar salah satu dari mereka yang terlebih dahulu merebahkan punggung di dasar sendang dangkal kompleks Kakaputrenan Agung itu.
“Tidak, Kanda Tunggadewi BreKahuripan. Biarlah kemenakanku, Hayam Wuruk dididik di tanah Sunda hingga kelak ia siap menjadi Raja Majapahit yang kuat. Lepas dari bayang kuasa dan pengaruh Gajah Mada yang begitu mengerikan. Kuharap dalam beberapa tahun ke depan, Gajah Mada segera renta, pikun atau mampus,!” jawab Rajadewi, gusar.
“Ya, benar katamu itu, Dinda Rajadewi BreDaha. Gajah Mada dengan kuasa dan pengaruhnya dapat dengan sekejap membunuh kita sekeluarga kapanpun ia mau. Sesungguhnya aku telah lama menaruh curiga, Gajah Madalah dalang dari pembunuhan Kanda Prabu Jayanegara. Sebagaimana Ken Arok, begitu saja membunuh Kebo Ijo beratus tahun lalu. Begitulah Gajah Mada membunuh RaTanca, si pembunuh Kanda Prabu Jayanegara,” tandas Tunggadewi tak kalah gusar. Jengkel, diciduknya air sendang dan dilemparkannya begitu saja hingga memercik di udara~~…
…~~Dalam naungan tetes gerimis, di bawah payung kebesaran, seorang lelaki belia dengan mahkota di atas kepalanya bertanya, “Pamanda Prapanca, ada apa ini!? Mengapa ribuan pasukan Majapahit mengepung Pesanggrahan Bubat ini!?”
“Ampun, Gusti Prabu Hayam Wuruk, sungguh patik juga tak mengerti. Namun, hanya Mapatih Gajah Madalah yang bisa menggerakan pasukan sebesar ini, Gusti Prabu,” jawab Prapanca seraya celingak- celinguk kebingungan melepaskan pandang ke arah baris demi baris dan ribu demi ribu prajurit Majapahit bersenjata tombak yang teracung ke udara. Prapanca tak pernah peduli cemo’ohan orang, setia mundak munduk mengiring kemanapun Hayam Wuruk belia pergi.
“Ibunda Tunggadewi, ada apa ini? Bibi Rajadewi, ada apa semua ini!? Tidak bisakah kalian menjelaskan kepadaku,?” tanya Hayam Wuruk kepada semua pembesar yang menggiringnya.
“Ananda Prabu, sungguh Bunda tidak tahu ada apa gerangan ini. Sebaiknya lekaslah kita bertemu dengan rombongan Sunda. Mudah- Mudahan tidak terjadi apa- apa dengan mereka, ” jawab Tunggadewi tak kalah masygul.
“Benar yang dikatakan Bundamu itu, Prabu. Hayo, lekaslah kita menemui tetamu dari Sunda itu,!” putus Rajadewi menutup kebimbangan.
Segera seribu prajurit pengiring bergerak maju, mencoba membelah rapatnya barisan prajurit Majapahit yang berpuluh kali lebih banyak.
“Maharaja Hayam Wuruk akan lewat harap semua prajurit bersimpuh,!!” mengguntur suara hulubalang pimpinan prajurit pengawal raja.
“Berhenti,!!” satu teriakan lantang balasan mencegah rombongan melangkah lebih jauh ke depan. Empunya suara tergopoh datang. Berjongkok takzim menghaturkan sembah ia berkata,”Ampun, Gusti Prabu. Ampun, Ibu Suri Gusti Ayu Tunggadewi, Ampun Gusti Ayu Rajadewi, dimohon rombongan agung untuk segera kembali ke Keraton Majapahit. Disini tidak aman, ampun, Gusti!”
“Ada apa ini, Wiraraja!? Mengapa pasukan Majapahit berada disini,!? tanya Prapanca membentak.
“Ampun, Gusti Mantri. Patik hanya menjalankan tugas mengamankan Majapahit. Urusan tanya jawab adalah urusan Gusti Mapatih Gajah Mada. Tugas patik hanyalah mencegah rombongan agung menemui tetamu Sunda,” jawab Wiraraja, tegas.
“Apa katamu, wiraraja!? Kurang ajar sekali engkau! Berani menghalangi Gusti Prabu,!” tukas Prapanca emosi seraya tangannya mencabut sebilah keris dari pinggangnya.
“Cling,,cing!!” Segera Ratusan mata tombak siap menghujam lambung Prapanca. Mencegahnya maju lebih jauh mendekati Wiraraja.
Tak kalah sigap, barisan terdepan pasukan penggiring rombongan agungpun mengacungkan mata tombak demi melindungi Prapanca.
Tombak beradu mata, saling mengintai.
Tetes gerimis membasahi wajah tegang ribuan para prajurit yang tengah berhadapan.
Hening.
Air hujan yang jatuh menetes di mata tombak meluncur turun ke bumi, bersatu dengan tanah.
Wiraraja tetap berjonkok takzim dengan tundukan kepala yang dalam.
“Pamanda Wiraraja, apakah engkau akan membunuh kami semua,!?” Hayam Wuruk berseru memecahkan kebisuan.
“Ampun, Gusti Prabu. Mapatih memerintahkan kepadaku, jika perlu membunuh siapa saja rombongan agung yang memaksa menemui tetamu Sunda, kecuali Gusti Prabu,!” keras dan tegas jawaban dari Wiraraja menyebabkan Hayam Wuruk belia tak lagi mampu menahan emosi.
“Maju,!!” Hayam Wuruk memberi perintah.
“CrangGG!! TangG!!” Tombak telah beradu.
Wiraraja menyingkir untuk mengatur pasukan.
Dua pasukan terlibat pertempuran di bawah rintik gerimis.
Dikejauhan...,
Diatas undakan anak tangga Pesanggrahan Agung, Prabu Linggabuana bertanya kepada seorang satria tua yang berdiri gagah disebelahnya, “Senopati Madipura, mengapa pasukan Majapahit menyerang rombongan agung Raja Majapahit itu?”
“Ampun, Gusti Prabu. Tampaknya ada konflik di dalam tubuh Majapahit. Sepertinya kita salah kira, pasukan Majapahit yang memenuhi pelataran Pesanggrahan Agung Bubat ini bukanlah untuk memberikan penyambutan kehormatan kepada kita tetapi sebaliknya mereka hendak membunuh Raja mereka sendiri, tatkala Raja Majapahit itu datang mengunjungi kita. Bukankah kemarin, Patih Majapahit, Gajah Mada menolak keinginan kita untuk memboyong Hayam Wuruk ke tanah Sunda, Gusti Prabu.”
“Hmmh.., gawat sekali! Lalu apa tindakan kita, Senopati? Apakah kita akan berdiam diri saja?”
“Ampun, Gusti Prabu. Bila mereka berhasil membunuh Raja mereka sendiri, Hayam Wuruk, setelah itu mereka pasti akan ganti menumpas kita, tetamu Rajanya. Mohon ampun, Gusti Prabu.”
“Benar katamu itu, Senopati. Kalau memang begitu, segera siapkan pasukan untuk turut berperang bersama Hayam Wuruk. Sepertinya jika terlambat sedikit saja, Hayam Wuruk pasti akan segera tewas,” ujar Linggabuana seraya melempar pandang ke titik pertempuran yang tidak berimbang di kejauhan pelataran.
“Sudah suratan nasib, jika kita semua memang harus mati di negari orang ini, Senopati.”
Tak berapa lama dua ribu prajurit Sunda sudah merentangkan busur mereka menunggu perintah.
“TembaAaak,!” Madiputra memberi perintah.
“Suutt!! SwinggGG!!” Sekejap dua ribu mata anak panah melayang di udara. Tanpa ampun menerjang ribuan pasukan yang tengah mengurung rombongan Hayam Wuruk yang keteter hebat karena kalah jumlah.
“Panah!! PanaaAAHH!! Perisaiii!! Tameng,!!” Pekik Nala kaget dari satu sudut pelataran. Telunjuknya mengarah ke sudut dimana pasukan Wiraraja tengah menahan gerakan rombongan agung Hayam Wuruk. Tak diduganya, pasukan Sunda begitu gegabah melepaskan ribuan anak panah.
“Gila betul si Linggabuana ini! Dia berani menyerang kita terlebih dahulu tanpa basa- basi etika dalam memulai perang,!” sungut Gajah Mada menutupi keterkejutannya.
“Srap!! CRApt! TapP,!” ribuan anak panah menancap di ribuan perisai yang digunakan menutupi kepala prajurit Majapahit.
“ArRrggGG!! AhAHkK,!!” pekikan kematian terdengar dari puluhan serdadu yang terlambat melindungi diri dari hujan anak panah dalam lengkungan rintik gerimis.
“TembaAAkkKK,!!” kembali Madipura memberikan perintah mengguntur.
Kembali ribuan mata anak panah membentuk lengkung pelangi hitam.
Kembali puluhan serdadu Majapahit meregang nyawa.
“Panglima! Cepat lakukan sesuatu! Atau kita semua habis diterjang panah orang- orang Sunda itu,!” perintah Gajah Mada geram melihat keadaan Nala yang masih berdiri diam mamatung.
“SerbuuUuu,!” tak ayal Nala memberi perintah kepada ribuan serdadu Bhayangkara yang bersamanya.
Mereka tidak terkena hujan panah karena berada di sudut yang berbeda dengan pasukan Wiraraja.
“Jaga rombongan agung ini! Separuh pasukan ikut bersamaku sekarang juga! Menghancurkan orang- orang Sunda pembokong itu,!!” perintah Wiraraja kepada dua orang Punggawa yang bersamanya.
Sekejap orang- orang Sunda terkepung dari dua sudut.
Pertempuran di titik Hayam Wuruk berhenti berkecamuk.
Hanya tersisa seratusan prajurit Belapati Raja yang masih hidup, selebihnya telah terbantai pasukan Wiraraja.
Mereka hanya bisa siaga beradu pandang dengan dua ribuan prajurit Majapahit yang masih mengurung.
“TembaaAAaaAAkkkKK,!!” kembali suara Madipura membahana.
Kembali tercipta lengkungan hitam hujan anak panah.
Kini, bukan hanya ratusan pasukan Wiraraja meregang nyawa, puluhan prajurit Bhayangkara Panglima Nala pun ikut kelojotan.
Wiraraja tak peduli anak buahnya yang terluka, tetap gagah memimpin, menerjang maju.
Nala acuh dengan pasukan Bhayangkara yang terjengkang terkapar melepas nyawa, kakinya berlari cepat untuk segera dapat mendekati para prajurit Sunda.
“TombaaAaAAkKK,!” Madipura mengguntur mengatur strategi.
Dua ribu mata tombak siaga ke muka menyongsong gempuran pasukan Majapahit yang datang dari dua sudut.
Dibelakang pasukan tombak, seratusan pasukan perempuan Sunda pengawal Permaisuri tetap melepaskan anak panah bertubi- tubi.
Sekejap kedua kubu bertemu.
Jeritan dan pekikan kematian membahana memenuhi pelataran pendopo Pesanggrahan bubat.
Waktu demi waktu berlalu.
Menjelang senja...,
Pertempuran berakhir.
Ribuan mayat serdadu bergelimpangan disana- sini.
Bau amis darah mengundang selera, serombongan burung berputar- putar di udara.
Para prajurit Sunda tak ada lagi yang tersisa.
Prabu Linggabuana tewas terlentang dengan sebilah tombak menembus punggung hingga menghujam langit. Permaisurinya gugur tertelungkup dengan sebilah pedang menembus jantung menancap bumi.
Hayam wuruk melangkah maju.
Pasukan Majapahit yang mengurungnya sekian lama membuka jalan.
Sunda sudah habis.
Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan untuk bisa ditemui sang Raja. Izin menemui jenazah tetamu Sunda diberikan tanpa sepatah kata dalam keheningan yang kontras dengan kegaduhan suasana perang yang baru saja berlalu.
Di atas undakan tangga pedopo Pesanggrahan Agung Bubat....
Seorang dara jelita berdiri dalam diam. Kakinya melangkah anggun menekuri anak tangga.
“Dyah Pitaloka Citaresmi..,bukan main, aslinya lebih cantik dan anggun daripada lukisan si Prabangkara,” gumam Gajah Mada takjub di tengah pelataran Bubat, diantara tumpukan ribuan mayat.
Tiba di depan mayat ayahandanya yang masih mengenakan mahkota, Dyah Pitaloka tak lagi kuat menahan gempuran suasana hati. Tubuhnya limbung, jatuh dengan keras di atas tubuh ayahandanya.
“TidaaaaAaaAkkkkKKK,!” Hayam Wuruk menyongsongkan tangannya kemuka berharap sesuatu yang lebih buruk untuk tidak terjadi.
Terlambat.
Dyah Pitaloka rubuh tepat di atas tombak yang menembus punggung ayahandanya. Sesaat tubuhnya berguling kesamping jenazah ayahandanya. Dengan lenguhan kecil, ia meregang nyawa. Matanya sedikit terbuka menatap senja di langit Bubat.
Hayam Wuruk serta merta menubruk tubuh kaku Dyah Pitaloka yang tak lagi berjiwa. Dengan bersimpuh di dekapnya erat Putri Sunda itu. Dipandanginya keayuannya. Sesalnya tak terbayar meskipun langit runtuh dihadapannya. (would you hold my hand)
Gerimis cinta menari dihadapannya dalam bentuk kepedihan yang luar biasa. Penuh kecewa ia bekata memilukan kepada langit, “Pamanda Gajah Mada, inikah yang kau inginkan?? Mengapa tak kau bunuh saja aku!?” (If i saw you in heaven)
Ribuan prajurit Majapahit yang tersisa berjongkok takzim menundukan kepala dalam. (Would you help me stand)
Panglima Nala membuang pedangnya, ikut menjongkok takzim. (If i saw you in heaven)
Senopati Utama Wiraraja berjongkok menyandarkan keningnya di atas kerisnya yang menghujam bumi. (I’ll find my way through nite and day)
Prapanca melemparkan lencana Kemantrian ke bawah kaki Gajah Mada seraya membuang ludah. Bulat sudah tekadnya untuk menyepi dari segala hiruk pikuk kedekilan Majapahit. (Cause I know I just can’t stay here in heaven)
Rajadewi turut bersimpuh di hadapan Hayam Wuruk yang masih terisak dahsyat mendekap jasad Dyah Pitaloka.
Melewati muka Gajah Mada, Tribuanatunggadewi berujar pelan, “Bahagiakah kau, Mada melihat putra kandung rahasiamu merana dan calon Permaisurinya tewas mengenaskan seperti itu?”
Satu lampu yang menyorot ke arah kanan dan satu lampu lain yang menyorot ke arah kiri dalam gedung, menyala.
Tak berapa lama, tampak beberapa siluet pengunjung berdiri meninggalkan kursi merah beludru bernomor.
Sekejap....,
Seluruh lampu yang bertugas menyinari ruang dalam gedung menyala serempak.
Suasana terang menemani pengunjung melangkahkan kaki keluar gedung.
Depan ujung undakan anak tangga paling bawah, di tengah dinding ruang dalam gedung yang berlayar putih, terbaca tulisan dalam huruf merah besar- besar, “THE END”