“Aristotandyo..?” “Hadir, Bu Har,!” sahut yang punya nama, malas-malasan. Huh, mengapa sih setiap dosen bila absensi atau periksa tugas selalu memanggil nama mahasiswa dengan mengurut abjad? Bosen kan, jadi kelinci pertama, korban percontohan melulu,!” rutuk Aristotandyo dalam hati.
“Ayo, bawa ke depan tugas matektur IV-nya,!” lanjut Bu Hara, kedua bola mata dibalik bingkai klasik Cartier lensa Rodenstok-nya cermat mengawal gerak tubuh Aristotandyo yang mulai beranjak setengah terpaksa.
“Bret! Sret! Buk!Clap! Psst..nssst..,” seketika terjadi kesibukan dalam kelas. Buku-buku dibongkar, diktat-diktat dibolak-balik. Bisik-bisik disana sini.
“Atmowidodo Sianipar..,” Bu Hara tak peduli pada bisak-bisik kepanikan yang melanda seisi kelas, tetap melanjutkan absensi sekaligus menagih tugas. Wajib untuknya menjelma menjadi juru siksa tersadis bagi para mahasiswa di semester-semester awal. Bersedia disiksa atau akan bertemu dengannya lagi tahun depan, alias mengulang mata kuliah.Baginya, semuanya itu terserah si mahasiswa.
Menurut Bu Hara, ada baiknya para mahasiswa yang lembek-lembek segera pindah jurusan saja, karena sekolah Arsitek lebih berat daripada sekolah tentara. Dalam Arsitek, keindahan adalah sesuatu yang harus bisa dihitung dengan angka-angka yang pasti!
Keindahan menurut barometer siapa, sih? Tentu saja, keindahan menurut selera dosen! Tiap mahasiswa Arsitek, wajib memiliki kemampuan mereka-reka keindahan macam apa yang ada di benak tiap-tiap dosen. kemudian, mendesign keindahan abstrak itu sekaligus menghitungnya berdasar rumus-rumus eksakta yang telah teruji!
Manusia konyol mana yang sanggup menghitung isi kepala tiap dosen!? Begitu selalu briefing Bu Hara pada setiap angkatan baru, pada saat membuka kegiatan Ospek Arsitektur. Dimana, para calon mahasiswa masih dianggap sekelompok kaum terasing yang amat sangat biadab hingga harus segera dikenalkan dengan peradaban agung yang dibawa oleh Yang Mulia Paduka-Paduka Mahasiswa Senior Separuh Dewa.
Sialnya, Aristotandyo adalah satu dari sekumpulan manusia yang sejak dulu, menurut Bu Hara adalah golongan terkonyol itu! Merasa sanggup melukis sekaligus menghitung keindahan yang ada di tiap-tiap benak para dosen!
Puaaahh.., kalo saja ia tak malu pada ortu juga kawan-kawan, tentulah ia telah berimigrasi dengan sukses sebagai mahasiswa teknik sipil, mesin ataupun elektro atau kalau perlu bahkan, pindah fakultas, informatika atau kedokteran misalnya. Tapi.., egonya terus memompa semangatnya dengan segala bujuk rayu. Bila jadi Arsitek tentulah hidupnya kelak akan enak, terkenal, bla..bla..dan bla-bla.
Harapan kedua orang tuanya, ia, Aristotandyo harus mengikuti jejak anggota keluarga jauhnya yang telah lebih dulu terkenal di berbagai bidang. Namun, semua saudaranya itu belum ada juga yang pernah beken di jalur Arsitek. Tengok saja, TanMalaka, EdyTanzil, TanTjengBok, TanriAbeng, TanoeSoedibyo, TantowiJahya, VeronicaTan dan TanEkTjwan.
Pesan mamanya, kelak sebagai Arsitek, nama Aristotandyo haruslah sebeken seni musik TanJieDor. Kalau perlu bahkan, sewangi minyak rambut TanCho.
Lamat-lamat suara dominan Bu Hara mulai menghilang dari gendang telinganya. Pada kelopak matanya, sosok rekan-rekan sekelas juga ikut memblur. Perlahan diktat hijau tua membias kabur bermetafora menjadi daun-daunan hijau kebun teh Cijalu Subang di ketinggian 2000 meter.
Ingatan Aristotandyo melayang pada dua tahun silam.
“Siapa itu,? Mengapa tengah hari bolong begini masih ada mahasiswi baru yang berpanas-panas mengenakan topi polka putih sambil berdendang seorang diri memetik pucuk-pucuk daun teh,?” tanya hati Aristotandyo memandang lembah teh yang berada tepat dibawah bukit tempatnya istirahat selonjoran bersandarkan sebatang pinus. Lelah betul badannya karena sedari pagi harus selalu mematuhi segala titah senior-seniornya pada acara perkemahan dalam rangka penutupan Ospek ini.
“Lho, kemana tadi gadis bertopi polka itu? Sepertinya indo, sayang wajahnya tak begitu jelas! Sudah ini mata silau kena matahari, mana tuh cewek pake topi, cukup jauh pula,!” bathin Aristotandyo, sesal karena semilir angin telah membuatnya lengah sejenak, terlena keindahan perkebunan teh.
—||—
“Kamu mahasiswa baru yang tadi siang ketiduran dibawah pohon pinus diatas bukit itu, kan?” sebuah tepukan lembut datang dari belakang punggung Aristotandyo.
“Deg!Plash!” Jantung Aristotandyo kontan berdegup kencang tak peduli selembut apapun tepukan si penanya. Secepat kilat dibalikan badannya, “Kamu mahasiswi baru yang tadi siang memetik pucuk-pucuk daun teh di lembah itu, kan?”
Sang mahasiswi hanya menganggukan kepala, wajahnya kemerahan diterpa bias api unggun yang dinyalakan pasca jam 12 malam.
Seluruh peserta membentuk lingkaran. khidmat mendengarkan bla-bla demi bla bla wejangan para senior tetapi, tidak dengan Aristotandyo!
“Hmh.., 162 senti 55 kilo, indo, cantik, rambut jagung Julia Robert, topi putih polka ala meneer, jaket kulit Nazi, untaian melati menghias leher dan secangkir teh panas ditangan kanan” celetuk hati Aristotandyo.
“Aristotandyo, Arsitek, semester I..,” ujarnya seraya mengangsurkan tangan.
“Susan.., Sipil, Semester I..,” jawab sang gadis tidak balas menjabat, malah mengangsurkan cangkir tehnya.
Aristotandyo mengernyitkan kening.
“Untuk kamu menghilangkan hawa dingin pegunungan di pagi buta ini, minumlah,!” tegas Susan menghilangkan keraguan Aristotandyo.
“Ah, terima kasih, San. Dan kamu sendiri..?”
Cangkir teh kaleng walau dengan sedikit sungkan akhirnya rela berpindah tangan.
“Aku sudah minum, tadi jam 10_an malam.”
“O, gitu. Aku minum tehnya ya,?” tanpa menunggu izin lagi, Aristotandyo mencicipi secangkir teh panas itu. “Wih, enak betul! Rasa melati, ya San?”
“Iya, aku meraciknya sendiri di tenda dapur umum, tadi. Orang tuaku yang mengajarkan resepnya. Mereka menyebut teh buatannya, Teh Javana. Hasil olahan hanya dari pucuk daun teh terbaik yang tumbuh di lereng pegunungan pada ketinggian lebih dari seribu meter.”
“Tapi.., bukankah kamu baru tadi siang memetik daun tehnya? Kok bisa, hanya dalam beberapa jam saja menyeduh teh senikmat dan seharum ini?”
“Tolong mahasiswa baru perhatian, ya! Jangan ngomong sendiri…!” Nyaring terdengar peringatan seorang mahasiswa senior yang tengah memberi wejangan melalui toa.
Aristotandyo tak peduli. Pikirnya, Ia tokh tak bicara seorang diri. Bukankah Ia tengah berbincang dengan Susan? Cewek paling cantik di tengah-tengah lembah Tangkuban Perahu ini!
“Resep Teh Javana akan tersimpan rapi hingga kamu kelak telah menjadi Direktur Marketing sebuah perusahaan yang memproduksi minuman kemasan. Nanti di saat itu, resep Teh Javana ini, barulah terbongkar dan akan digemari setiap orang.”
“Kamu ngomong apa sih, San? Masak’kan aku bakal jadi Direktur Marketing minuman kemasan sementara kuliahku saja Arsitektur? Lagian.., kamu kok sok tahu masa depan, sih? Ahli ramal, ya hehehe?” ledek Aristotandyo mencoba bercanda mencairkan suasana. Sebenarnya, sedari tadi sedang berlangsung gempa 9 skala richter di dalam hatinya.
“Diperkebunan teh inilah aku dibesarkan. Rumahku ada di dalam pagar lingkungan pabrik teh, dibawah bukit-bukit teh ini, sebelum jalan mulai menanjak.”
“Apa.., besok kamu akan mengunjungi rumahmu sebelum kita kembali ke Jakarta, San?”
“Hihi, nanti subuhpun aku pulang dulu ke rumah. Pagi, aku tidak ikut rombongan ini pulang. Sorenya barulah aku kembali ke Jakarta”
“O.., kalo gitu besok pagi sebelum rombongan kembali ke Jakarta, aku mau mampir ke rumah mu, ya San?”
“O.., silahkan. Nanti ada Kang Darma, penjaga pabrik yang akan mengantarmu ke rumahku.”
“Tapi kalau aku mampir ke rumahmu, ngak akan ada yang marah kan, San?”
“Maksudnya?” “Ya, siapa tahu kamu sudah punya pacar…”
“Hihihi, kamu ini. Baru pertama kali bertemu sudah kesana-sana ngomongnya. Memang kamu mau jadi pacarku?”
“Hegh!” Aristotandyo tersodok, tak disangkanya Susan bicara tanpa tedeng aling. Menutupi kegugupan ia menjawab, “Ya, siapa juga yang tak mau, kalau bisa jadi pacarmu?”
“Ya sudah, kalau kamu serius mau mampir, datanglah ke rumahku besok pagi. Sekarang, aku mau pulang ke rumah lebih dahulu.”
“Lho, kamu kok berani meninggalkan acara, ngak pakai izin dulu sama senior-senior?”
“Biar saja, tokh mereka lagi sibuk. Eh, sekalian itu cangkir tehnya buat kamu saja. Jangan dibuang ya! Itu cangkir kaleng teh, antik banget, lho. Tapi, teh buatanku Jangan ngak dihabiskan, ya!”
“Iya.., iya.., lah wong Teh Javana senikmat ini, masak iya sih ngak habis,” sahut Aristotandyo sembari kembali menyeruput cangkir tehnya.
Ketika ia kembali mengangkat wajah tak dilihatnya lagi Susan. “Eh, kemana si Susan tadi? Kok cepat amat sih hilangnya? Wah, topi polkanya juga sudah ngak kelihatan..,” Aristotandyo celangak-celinguk kebingungan.
—-||—-
Aristotandyo tak tidur semalaman. Tak sabar hatinya menunggu fajar, ingin segera menuruni lembah perkebunan teh, menjumpai Susan di rumahnya.
Tepat, ketika jarum pendek jam dipergelangan tangannya menunjuk angka enam, iapun segera meninggalkan tendanya. Tak dipedulikannya rekan-rekan setendanya yang masih terbuai mimpi karena kecapaian setelah mengikuti acara api unggun semalam suntuk.
Tak sampai setengah jam, Aristotandyo sudah berdiri depan gerbang besi setinggi dua meter milik pabrik teh satu-satunya di daerah itu. Belum sempat ia mencari bel, gerbang itu sudah bergeser membuka.
Seorang berpakaian sekurity berkalung sarung kumal kotak-kotak menyapa ramah, “Ahk, karyawan baru, ya Dik? Pagi betul.., jam kerja baru dimulai jam setengah sembilan, Dik.”
“Ow.., bukan Pak! Saya hanya mau main ke rumah Susan. Katanya, rumahnya di dalam pabrik ini, Pak?”
“Susan? Disini tak ada rumah, Dik! Disini pabrik teh!”
“Lho, gimana sih? Apa Bapak tahu yang namanya Kang Darma?”
“Saya sendiri, Dik.”
“Oh, maaf Bapak sendiri Kang Darma, tokh! Begini lho Kang, Susan bilang sama saya semalam, kalau mau kerumahnya di dalam pabrik teh ini, biar Kang Darma saja yang antar, begitu Kang…”
Kang Darma tertegun, lekat-lekat ditatapnya Aristotandyo yang terkesan sok kenal sok dekat.
“Kalau begitu mari, Dik. Saya antar ke rumahnya Susan. Cepatlah masuk, mumpung hari masih pagi, belum ada karyawan pabrik yang datang.”
“Akhirnya, orang tua ini tak bisa lagi mengelak, mau mengantarkan ku juga,” pikir Aristotandyo mengulum senyum kemenangan seraya melangkah memasuki areal pabrik teh.
Keduanya melangkah dalam diam. Melintas depan kantor, area utama pabrik, gudang dan tiba di bangunan paling belakang yang kusam.
Seboeah roemah moengil bergaya tempo doeloe jang dindingnya soedah jebol disana sini tempat bergantoengnya berjoeta sarang laba-laba.
“Dimana Kang, rumahnya Susan,?” tanya Aristotandyo keheranan karena depan biji matanya, sudah tak tampak lagi ada bangunan yang lain.
Kang Darma tidak menjawab hanya kerling matanya mengajak Aristotandyo untuk tetap teruskan langkah menembus ilalang rerumputan pohon-pohon perdu yang dibiarkan tumbuh liar.
Aristotandyo semakin keheranan, bagaimana mungkin gadis secantik Susan setiap hari harus melewati area ini pulang pergi? Apa tak takut digigit ular?
Tak ingin kehadirannya dianggap sepi, angin sesekali semilir mondar-mandir membawa aroma melati.
Daun-daun perdu ikut unjuk gigi, genit bergoyang dalam tarian mistis.
“Disitulah rumahnya Susan, Dik..,” tunjuk Kang Darma ke arah sebatang perdu bunga melati yang cukup rimbun.
“Dimana, Kang,? Aristotandyo tak lagi bisa menyembunyikan keheranannya. Dipincingkan matanya, memastikan arah yang ditunjuk.
“Itu, tepat dibawah pohon melati itu.., tengoklah kesana..,” jawab Kang Darma.
Penasaran, Aristotandyo menghampiri dan menyibak rerimbunan daun-daun pohon melati. Matanya seketika menatap tiga onggokan batu nisan yang telah miring dan tertutup tanah liat kering.
Seuntai kalung melati yang masih segar bertengger pamerkan diri, melingkar manja pada salah satu batu nisan.
Aristotandyo segera mengibas-ngibas tanah kering yang menutupi batu nisan itu, pekik hatinya, “Tidak salah lagi, ini kan kalung melati yang dipakai Susan semalam..”
Walau bulu kuduk telah meremang, matanya tak berkedip ketika tulisan di batu nisan itu mulai terbaca.
Susaene van de Harre van Javana…
Pohon melati berputar…
Dunia berputar…
Mentari berputar…
“Yaaah.., tolong jangan pingsan disini, Dik..,!” teriak Kang Darma panik menyongsong tubuh Aristotandyo yang mulai limbung.
—||—
Dalam ruang kantor bergaya Victoria, tepatnya diatas meja kerja besar ukiran kayu oak da Vinci, sebuah cangkir kaleng bergrafir bunga-bungaan pasrah tak berdaya, dipermainkan oleh jemari yang terhias cincin mas putih de Beers bertahta blue safir belah ketupat.
Jatuhkan tatapan kosong pada cangkir teh antik berbahan kaleng itu, Aristotandyo menghela napas panjang,”Fiuiihh…” Duduk di kursi merah marun kulit lembu bersandaran tinggi, ia baru saja terkenang 20 tahun silam pada masa-masa awal mengikuti perkuliahan Arsitektur.
Tak pernah diduga oleh Aristotandyo, setahun yang lalu, pemilik perusahaan tempatnya bekerja telah mengakuisisi pabrik teh dimana batu nisan Susan berada.
Menurut cerita orang yang didengar oleh Aristotandyo saat ia baru siuman dari pingsannya, Susan, putri pemilik pabrik teh itu, tewas terbunuh setelah sebelumnya diperkosa terlebih dahulu di tengah-tengah lembah perkebunan teh pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan.
Saat pabrik sedang renovasi dan berbenah diri pasca akuisisi, seorang pekerja menemukan sepucuk amplop dalam laci sebuah meja jati rusak.
Amplop tersebut dengan setia menyimpan selembar kertas buram tua berisi tulisan tangan dalam bahasa Belanda tentang cara meracik Teh Javana yang ditandatangani langsung oleh Haere van Javana, keluarga campuran Belanda-Pribumi, pemilik lama pabrik.
Tentu saja, Boss-nya Aristotandyo tak menyia-nyiakan penemuan itu, segera memerintahkan untuk dilakukan serangkaian riset guna menghasilkan : *”Teh Javana! Bukan Cuma Jual Cerita…”*
Antara percaya dan tidak atas ramalan Susan di masa lampau, Aristotandyo keheranan ketika ia, 5 bulan lalu ditunjuk oleh Bossnya untuk menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap pemasaran “Teh Javana! Teh Melati Citra Rasa Indonesia” dalam kemasan ready to drink yang dibandrol Rp.3000,-/botol.
“Tok..tok..,” dua ketukan pada gypsum partisi setinggi dada pembatas ruangan membuyarkan perhatian Aristotandyo dari layar laptop, satu-satunya benda yang ada diatas meja kerjanya. Meja kecil tatakan yang jadi satu dengan bangku lipat kuliah Chitos hitam.
“Ya, Miss Elasilva..,?” tanyanya menaikan alis, melihat siapa yang datang.
“Apa Bapak sudah selesai membaca tulisan itu? Bagaimana? Apa sebaiknya, penulisnya kita tuntut secara hukum saja, Pak,?” berondong Elasilva bertumpu tangan diatas partisi aluminium pembatas. Sebagai PR Manager tentu saja, ia merasa turut ikut bertanggung jawab atas nama baik Teh Javana yang selama ini telah nangkring bertengger di ranking 5 besar nasional minuman kemasan ready to drink.
Melirik kembali layar laptopnya, Aristotandyo bersungut-sungut dalam intonasi menahan geram, “Ini, saya baru saja selesai bacanya. Tulisan berjudul ‘Riwayat Fiktif Teh Javana Teh Melati” ini, memang menjengkelkan! Sayalah ditulisnya begana-begono! Pernah ketemu hantu, punya kantor mewah, juga cincin Safir.., Tapi..,”.
Mengarahkan telunjuk pada layar laptop sembari geleng-geleng kepala, Aristotandyo akhirnya mengambil keputusan, “Masak iya sih, kita menuntut tulisan yang memang benar-benar sangat amat kebangetan fiktifnya, seperti ini!”
—-oo0oo—-
0Awesome Comments!