Bubat Cinta Agung yang Terbabat

sultonenterjava.deviantart.com
Jadi rombongan Sunda sudah tiba di Pesanggrahan Bubat, Panglima?” tanya seorang lelaki berusia enampuluhan lebih sedikit, penuh wibawa. Tatap matanya tajam menyambar dua orang yang baru saja datang untuk menyampaikan laporan.

“Mantri Besar Prapanca yang menyambut dan menempatkan tetamu di Pesanggrahan Agung Bubat itu, ya Mapatih Gajah Mada,” jawab seorang diantara yang baru datang seraya bersikap santai mengambil tempat duduk bersebelahan dengan tuan rumah. Tindakannya diikuti rekannya, duduk santai di teras rumah megah yang berhadapan dengan panorama Gunung Anjasmara yang berdiri gagah di tepi batas siluet biru cakrawala kotaraja.

Gajah Mada segera membalik dua cangkir giok hijau dari posisi tertelungkup. Satu tangannya meraih gagang kendi giok yang sudah lama berdiri anggun menantang di atas meja bundar kayu jati coklat tua.
Air sulingan Aren segera memenuhi tepi bibir ke dua cangkir.

“Silahkan diminum, Panglima Nala dan Senopati Utama, Wiraraja. Sungguh hanya dengan bantuan kalian berdua, aku, Gajah Mada dapat mencegah lembayung malapetaka yang membayang di atas langit Majapahit ini.”

“Ya Mapatih, kami telah bersamamu berpuluh tahun. Kami berdua tidak pernah menghianatimu dan kami selalu siap korbankan jiwa raga untuk Raja dan Majapahit. Lembayung petaka apakah itu, wahai Mapatih?” sambut Wiraraja sekaligus bertanya.

“Aku percaya Senopati Wiraraja, memang engkaulah pamungkasnya Majapahit.”  Menarik napas sejenak, Gajah Mada melanjutkan getir, “Namun saat ini Raja yang akan menghianati Majapahit.”

“Hah,!” Nala menoleh kaget ke arah tuan rumah disertai pelototan tajam mendesak penjelasan.

“SrrrttTTT….!” Wiraraja mencabut keris yang terselip dipinggangnya. Masih dalam posisi duduk di sebelah Nala, Wiraraja menggeram bak Harimau luka, “Ya Mada, telah kulalui berpuluh ekspedisi malang melintang untuk Majapahit hingga rambutkupun memutih. Sekarang jelaskan katamu itu atau keris ini akan segera keluar dari warangkanya, untuk mandi darahmu!”

“Sabar Senopati, Mapatih Gajah Mada tidak mungkin bicara sembarangan apalagi mengenai Raja. Dengarkan penjelasannya dahulu. Aku, Nala tak akan ragu menyeretnya ke Mahkamah Nagara bila memang, Mapatih hanya melemparkan dusta dan fitnah terhadap Raja.”
1302277649627857333“Tidakkah kalian berdua tahu bahwa kedatangan rombongan Sunda untuk mengambil Raja sebagai mantu? Raja akan pergi ke tanah Sunda dan menjadi Raja disana. Bila Pernikahan Agung itu terjadi, pastinya Majapahit akan menjadi wilayah bawahan Sunda,” balas Gajah Mada, heran. Mengapa kedua tamunya tidak mengetahui keputusan kenegaraan sepenting itu.

Di kejauhan pandang, serombongan burung bagai noktah- noktah hitam terbang dalam formatur yang indah menuju lereng biru Gunung Anjasmara.

“Mereka tidak bermaksud menghantar Putri Sunda kemari untuk menjadi Permaisuri Majapahit. Pihak wanita yang datang berbesan!? itu tidak lazim! Percayalah, kedatangan mereka hanya untuk memamerkan kecantikan Putri Sunda, mengambil hati Gusti Prabu dan memboyong beliau pergi,!” tambah Gajah Mada.

“Sungguh aku buta politik, ya Mapatih. Demi keluhuran budi, Maafkanlah Wiraraja karena telah berlaku begitu kurang ajar, ya Mapatih,” tukas Nala geleng- geleng selepas tercenung beberapa saat.

“Ia bisa meminta maaf sendiri padaku, ya Panglima,” sahut Gajah Mada seraya menatap Wiraraja dingin.

“Ampuni aku, ya Mapatih dan teruslah jelaskan pada kami duduk persoalannya. Sungguh kami hanya tahu sedikit strategi tempur dan keprajuritan. Benar kata Panglima, aku buta politik, ya Mapatih,” ucap Wiraraja menunduk malu seraya tangannya menyelipkan kembali keris ke belakang pinggangnya.
1302330293106201089Menghela napas panjang, Gajah Mada berkata pada Wiraraja, “Raja akan menghianatimu, Senopati. Menghianati jerih payahmu menaklukan seantero jagat!” Mengalihkan pandangan ke Nala, iapun menyambung, “Raja juga akan menghianatimu, Panglima. Menghianati segala susah payahmu membesarkan angkatan perang Majapahit! Raja, ia akan menghianati segala pengorbanan kawula dan seluruh rakyat anak nagari. Sekali lagi kukatakan kepada kalian berdua, Raja akan menghianati Majapahit dengan menjadi Raja di Sunda dan memindahkan Ibukota ke sana! Dan kita  akan menjadi petinggi negara kelas bawah, segera!!”

Hening.
Angin berdesir mengajak dedauan di pucuk pohon samping kiri kediaman Gajah Mada menari.
Debu merayap anggun di atas permukaan bumi.
Helaan napas ketiganya menutup kebisuan.
Gajah Mada meraih cangkir dan menenggak isinya habis.
Nala diam tafakur hanya tangannya memutar- mutar cangkir diatas meja, gelisah.

Wiraraja tanpa sopan santun menandaskan isi cangkir lantas meletakan cangkir dengan keras keatas meja, “Braa..Aa…~~
 …~~aAk.!” sekepalan tangan menghantam meja ruang dalam pesanggrahan Bubat, penuh semangat empunya berkata, ” Majapahit pasti akan jatuh ke tangan Sunda, Dinda Permaisuri. Kita berdua akan dengan tenang menikmati sisa hidup di biara karena seantero Nusantara akan berada di bawah Sunda. Hayam Wuruk, ia cucu pamanku Jaka Tanduran Wijaya dan memanglah pantas ia meneruskanku mengemban tahta Sunda.”

“Kanda Prabu Linggabuana, Dinda juga merasa sudah saatnya kita bersiap menjemput nirwana di biara. Dinda akan menemani Kanda, setia hingga akhir hayat,” jawab permaisuri tanpa ragu seraya kedua tangannya sibuk meraba daun telinganya, sibuk melepaskan anting yang terbuat dari permata mutu manikam yang berkilau~~….
…~~Kemilau air sendang menyambut dua sosok tubuh wanita separuh baya yang berbalut kain batik setinggi lutut sebatas atas dada.

Seiring dengan hadirnya kematangan usia keduanya, kecantikan mereka bertambah- tambah. Tak mau kalah cepat berlomba dengan keanggunan.

Aneka bunga menggeliat di atas permukaan sendang, menepi untuk memberi tempat keduanya bercengkrama.
13023276081041013810“Dinda Rajadewi BreDaha, kuharap keputusanku mengungsikan Putraku, Hayam Wuruk ke tanah Sunda tidak keliru,” ujar salah satu dari mereka yang terlebih dahulu merebahkan punggung di dasar sendang dangkal kompleks Kakaputrenan Agung itu.

“Tidak, Kanda Tunggadewi BreKahuripan. Biarlah kemenakanku, Hayam Wuruk dididik di tanah Sunda hingga kelak ia siap menjadi Raja Majapahit yang kuat. Lepas dari bayang kuasa dan pengaruh Gajah Mada yang begitu mengerikan. Kuharap dalam beberapa tahun ke depan, Gajah Mada segera renta, pikun atau mampus,!” jawab Rajadewi, gusar.

“Ya, benar katamu itu, Dinda Rajadewi BreDaha. Gajah Mada dengan kuasa dan pengaruhnya dapat dengan sekejap membunuh kita sekeluarga kapanpun ia mau. Sesungguhnya aku telah lama menaruh curiga, Gajah Madalah dalang dari pembunuhan Kanda Prabu Jayanegara. Sebagaimana Ken Arok, begitu saja membunuh Kebo Ijo beratus tahun lalu. Begitulah Gajah Mada membunuh RaTanca, si pembunuh Kanda Prabu Jayanegara,” tandas Tunggadewi tak kalah gusar. Jengkel, diciduknya air sendang dan dilemparkannya begitu saja hingga memercik di udara~~…
…~~Dalam naungan tetes gerimis, di bawah payung kebesaran, seorang lelaki belia dengan mahkota di atas kepalanya bertanya, “Pamanda Prapanca, ada apa ini!? Mengapa ribuan pasukan Majapahit mengepung Pesanggrahan Bubat ini!?”

“Ampun, Gusti Prabu Hayam Wuruk, sungguh patik juga tak mengerti. Namun, hanya Mapatih Gajah Madalah yang bisa menggerakan pasukan sebesar ini, Gusti Prabu,” jawab Prapanca seraya celingak- celinguk kebingungan melepaskan pandang ke arah baris demi baris dan ribu demi ribu prajurit Majapahit bersenjata tombak yang teracung ke udara. Prapanca tak pernah peduli cemo’ohan orang, setia mundak munduk mengiring kemanapun Hayam Wuruk belia pergi.

“Ibunda Tunggadewi, ada apa ini? Bibi Rajadewi, ada apa semua ini!? Tidak bisakah kalian menjelaskan kepadaku,?” tanya Hayam Wuruk kepada semua pembesar yang menggiringnya.

“Ananda Prabu, sungguh Bunda tidak tahu ada apa gerangan ini. Sebaiknya lekaslah kita bertemu dengan rombongan Sunda. Mudah- Mudahan tidak terjadi apa- apa dengan mereka, ” jawab Tunggadewi tak kalah masygul.

“Benar yang dikatakan Bundamu itu, Prabu. Hayo, lekaslah kita menemui tetamu dari Sunda itu,!” putus Rajadewi menutup kebimbangan.

Segera seribu prajurit pengiring bergerak maju,  mencoba membelah rapatnya barisan prajurit Majapahit yang berpuluh kali lebih banyak.

“Maharaja Hayam Wuruk akan lewat harap semua prajurit bersimpuh,!!” mengguntur suara hulubalang pimpinan  prajurit pengawal raja.

“Berhenti,!!” satu teriakan lantang balasan mencegah rombongan melangkah lebih jauh ke depan. Empunya suara tergopoh datang. Berjongkok takzim menghaturkan sembah ia berkata,”Ampun, Gusti Prabu. Ampun, Ibu Suri Gusti Ayu Tunggadewi, Ampun Gusti Ayu Rajadewi, dimohon rombongan agung untuk segera kembali ke Keraton Majapahit. Disini tidak aman, ampun, Gusti!”

“Ada apa ini, Wiraraja!? Mengapa pasukan Majapahit berada disini,!? tanya Prapanca membentak.

“Ampun, Gusti Mantri. Patik hanya menjalankan tugas mengamankan Majapahit. Urusan tanya jawab adalah urusan Gusti Mapatih Gajah Mada. Tugas patik hanyalah mencegah rombongan agung menemui tetamu Sunda,” jawab Wiraraja, tegas.

“Apa katamu, wiraraja!? Kurang ajar sekali engkau! Berani menghalangi Gusti Prabu,!” tukas Prapanca emosi seraya tangannya mencabut sebilah keris dari pinggangnya.

“Cling,,cing!!” Segera Ratusan mata tombak siap menghujam lambung Prapanca. Mencegahnya maju lebih jauh mendekati Wiraraja.

Tak kalah sigap, barisan terdepan pasukan penggiring rombongan agungpun mengacungkan mata tombak demi melindungi Prapanca.

Tombak beradu mata, saling mengintai.
Tetes gerimis membasahi wajah tegang ribuan para prajurit yang tengah berhadapan.
Hening.
Air hujan yang jatuh menetes di mata tombak meluncur turun ke bumi, bersatu dengan tanah.
Wiraraja tetap berjonkok takzim dengan tundukan kepala yang dalam.

“Pamanda Wiraraja, apakah engkau akan membunuh kami semua,!?” Hayam Wuruk berseru memecahkan kebisuan.

“Ampun, Gusti Prabu. Mapatih memerintahkan kepadaku, jika perlu membunuh siapa saja rombongan agung yang memaksa menemui tetamu Sunda, kecuali Gusti Prabu,!” keras dan tegas jawaban dari Wiraraja menyebabkan Hayam Wuruk belia tak lagi mampu menahan emosi.

“Maju,!!” Hayam Wuruk memberi perintah.

“CrangGG!! TangG!!” Tombak telah beradu.

Wiraraja menyingkir untuk mengatur pasukan.

Dua pasukan terlibat pertempuran di bawah rintik gerimis.
Dikejauhan...,

Diatas undakan anak tangga Pesanggrahan Agung, Prabu Linggabuana bertanya kepada seorang satria tua yang berdiri gagah disebelahnya, “Senopati Madipura, mengapa pasukan Majapahit menyerang rombongan agung Raja Majapahit itu?”

“Ampun, Gusti Prabu. Tampaknya ada konflik di dalam tubuh Majapahit. Sepertinya kita salah kira, pasukan Majapahit yang memenuhi pelataran Pesanggrahan Agung Bubat ini bukanlah untuk memberikan penyambutan kehormatan kepada kita tetapi sebaliknya mereka hendak membunuh Raja mereka sendiri, tatkala Raja Majapahit itu datang mengunjungi kita. Bukankah kemarin, Patih Majapahit, Gajah Mada menolak keinginan kita untuk memboyong Hayam Wuruk ke tanah Sunda, Gusti Prabu.”

“Hmmh.., gawat sekali! Lalu apa tindakan kita, Senopati? Apakah kita akan berdiam diri saja?”
“Ampun, Gusti Prabu. Bila mereka berhasil membunuh Raja mereka sendiri, Hayam Wuruk, setelah itu mereka pasti akan ganti menumpas kita, tetamu Rajanya. Mohon ampun, Gusti Prabu.”

“Benar katamu itu, Senopati. Kalau memang begitu, segera siapkan pasukan untuk turut berperang bersama Hayam Wuruk. Sepertinya jika terlambat sedikit saja, Hayam Wuruk pasti akan segera tewas,” ujar Linggabuana seraya melempar pandang ke titik pertempuran yang tidak berimbang di kejauhan pelataran.

“Sudah suratan nasib, jika kita semua memang harus mati di negari orang ini, Senopati.”

Tak berapa lama dua ribu prajurit Sunda sudah merentangkan busur mereka menunggu perintah.
“TembaAaak,!” Madiputra memberi perintah.
13023447232021166276“Suutt!! SwinggGG!!” Sekejap dua ribu mata anak panah melayang di udara. Tanpa ampun menerjang ribuan pasukan yang tengah mengurung rombongan Hayam Wuruk yang keteter hebat karena kalah jumlah.

“Panah!! PanaaAAHH!! Perisaiii!! Tameng,!!” Pekik Nala kaget dari satu sudut pelataran. Telunjuknya mengarah ke sudut dimana pasukan Wiraraja tengah menahan gerakan rombongan agung Hayam Wuruk. Tak diduganya, pasukan Sunda begitu gegabah melepaskan ribuan anak panah.

“Gila betul si Linggabuana ini! Dia berani menyerang kita terlebih dahulu tanpa basa- basi etika dalam memulai perang,!” sungut Gajah Mada menutupi keterkejutannya.

“Srap!! CRApt! TapP,!” ribuan anak panah menancap di ribuan perisai yang digunakan menutupi kepala prajurit Majapahit.

“ArRrggGG!! AhAHkK,!!” pekikan kematian terdengar dari puluhan serdadu yang terlambat melindungi diri dari hujan anak panah dalam lengkungan rintik gerimis.

“TembaAAkkKK,!!” kembali Madipura memberikan perintah mengguntur.
Kembali ribuan mata anak panah membentuk lengkung pelangi hitam.
Kembali puluhan serdadu Majapahit meregang nyawa.

“Panglima! Cepat lakukan sesuatu! Atau kita semua habis diterjang panah orang- orang Sunda itu,!” perintah Gajah Mada geram melihat keadaan Nala yang masih berdiri diam mamatung.

“SerbuuUuu,!” tak ayal Nala memberi perintah kepada ribuan serdadu Bhayangkara yang bersamanya.

Mereka tidak terkena hujan panah karena berada di sudut yang berbeda dengan pasukan Wiraraja.

“Jaga rombongan agung ini! Separuh pasukan ikut bersamaku sekarang juga! Menghancurkan orang- orang Sunda pembokong itu,!!” perintah Wiraraja kepada dua orang Punggawa yang bersamanya.

Sekejap orang- orang Sunda terkepung dari dua sudut.

Pertempuran di titik Hayam Wuruk berhenti berkecamuk.

Hanya tersisa seratusan prajurit Belapati Raja yang masih hidup, selebihnya telah terbantai pasukan Wiraraja.
Mereka hanya bisa siaga beradu pandang dengan dua ribuan prajurit Majapahit yang masih mengurung.

“TembaaAAaaAAkkkKK,!!” kembali suara Madipura membahana.
Kembali tercipta lengkungan hitam hujan anak panah.

Kini, bukan hanya ratusan pasukan Wiraraja meregang nyawa, puluhan prajurit Bhayangkara Panglima Nala pun ikut kelojotan.

Wiraraja tak peduli anak buahnya yang terluka, tetap gagah memimpin, menerjang maju.

Nala acuh dengan pasukan Bhayangkara yang terjengkang terkapar melepas nyawa, kakinya berlari cepat untuk segera dapat mendekati para prajurit Sunda.

“TombaaAaAAkKK,!” Madipura mengguntur mengatur strategi.

Dua ribu mata tombak siaga ke muka menyongsong gempuran pasukan Majapahit yang datang dari dua sudut.

Dibelakang pasukan tombak, seratusan pasukan perempuan Sunda pengawal Permaisuri tetap melepaskan anak panah bertubi- tubi.

Sekejap kedua kubu bertemu.
Jeritan dan pekikan kematian membahana memenuhi pelataran pendopo Pesanggrahan bubat.

Waktu demi waktu berlalu.

Menjelang senja...,

Pertempuran berakhir.

Ribuan mayat serdadu bergelimpangan disana- sini.
Bau amis darah mengundang selera, serombongan burung berputar- putar di udara.
Para prajurit Sunda tak ada lagi yang tersisa.
Prabu Linggabuana tewas terlentang dengan sebilah tombak menembus punggung hingga menghujam langit. Permaisurinya gugur tertelungkup dengan sebilah pedang menembus jantung menancap bumi.

Hayam wuruk melangkah maju.

Pasukan Majapahit yang mengurungnya sekian lama membuka jalan.

Sunda sudah habis.

Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan untuk bisa ditemui sang Raja. Izin menemui jenazah tetamu Sunda diberikan tanpa sepatah kata dalam keheningan yang kontras dengan kegaduhan suasana perang yang baru saja berlalu.
13023534621254984811Di atas undakan tangga pedopo Pesanggrahan Agung Bubat....

Seorang dara jelita berdiri dalam diam. Kakinya melangkah anggun menekuri anak tangga.

“Dyah Pitaloka Citaresmi..,bukan main, aslinya lebih cantik dan anggun daripada lukisan si Prabangkara,” gumam Gajah Mada takjub di tengah pelataran Bubat, diantara tumpukan ribuan mayat.

Tiba di depan mayat ayahandanya yang masih mengenakan mahkota, Dyah Pitaloka tak lagi kuat menahan gempuran suasana hati. Tubuhnya limbung, jatuh dengan keras di atas tubuh ayahandanya.

“TidaaaaAaaAkkkkKKK,!” Hayam Wuruk menyongsongkan tangannya kemuka berharap sesuatu yang lebih buruk untuk tidak terjadi.

Terlambat.

Dyah Pitaloka rubuh tepat di atas tombak yang menembus punggung ayahandanya. Sesaat tubuhnya berguling kesamping jenazah ayahandanya. Dengan lenguhan kecil, ia meregang nyawa. Matanya sedikit terbuka menatap senja di langit Bubat.

Hayam Wuruk serta merta menubruk tubuh kaku Dyah Pitaloka yang tak lagi berjiwa. Dengan bersimpuh di dekapnya erat Putri Sunda itu. Dipandanginya keayuannya. Sesalnya tak terbayar meskipun langit runtuh dihadapannya. (would you hold my hand)

Gerimis cinta menari dihadapannya dalam bentuk kepedihan yang luar biasa. Penuh kecewa ia bekata memilukan kepada langit, “Pamanda Gajah Mada, inikah yang kau inginkan?? Mengapa tak kau bunuh saja aku!?” (If  i saw you in heaven)

Ribuan prajurit Majapahit yang tersisa berjongkok takzim menundukan kepala dalam. (Would you help me stand)

Panglima Nala membuang pedangnya, ikut menjongkok takzim. (If  i saw you in heaven)

Senopati Utama Wiraraja berjongkok menyandarkan keningnya di atas kerisnya yang menghujam bumi. (I’ll find my way through nite and day)

Prapanca melemparkan lencana Kemantrian ke bawah kaki Gajah Mada seraya membuang ludah. Bulat sudah tekadnya untuk menyepi dari segala hiruk pikuk kedekilan Majapahit. (Cause I know I just can’t stay here in heaven) 

Rajadewi turut bersimpuh di hadapan Hayam Wuruk yang masih terisak dahsyat mendekap jasad Dyah Pitaloka.

Melewati muka Gajah Mada, Tribuanatunggadewi berujar pelan, “Bahagiakah kau, Mada melihat putra kandung rahasiamu merana dan calon Permaisurinya tewas mengenaskan seperti itu?”

Satu lampu yang menyorot ke arah kanan dan satu lampu lain yang menyorot ke arah kiri dalam gedung, menyala.

Tak berapa lama, tampak beberapa siluet pengunjung berdiri meninggalkan kursi merah beludru bernomor.
1302356479372566374Sekejap....,

Seluruh lampu yang bertugas menyinari ruang dalam gedung menyala serempak.
Suasana terang menemani pengunjung melangkahkan kaki keluar gedung.
Depan ujung undakan anak tangga paling bawah, di tengah dinding ruang dalam gedung yang berlayar putih, terbaca tulisan dalam huruf merah besar- besar, “THE  END”

Akhir Casanova Mengukir Karier Cinta


132842353498628116 
Juan, sebutlah namanya, seorang pria mendekati 40-an. Masih terlihat jelas di wajahnya kegantengan nan memukau pada masa muda. Cerita ini diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami empunya nama belasan tahun lalu di masa ia masih menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup beken di Ibukota.

Asap rokok menghembus lembut, menerawang ke masa silam, Juan yang kini duduk di kursi roda karena menurut kabar, urat kakinya putus digigit seekor anjing gila, memulai sebuah cerita.

“Esok pagi, tepatnya satu hari menjelang Valentine adalah puncak karierku sebagai seorang Casanova. Ya, karier yang tak seorangpun di kampus ini tahu, bahkan tidak juga para korban rayuanku. Tak satupun diantara mereka membenciku. Hmm.., para wanita korbanku selalu beranggapan akulah si pelipur lara rahasianya. Ya, pelipur lara rahasia! Tak satupun dari wanita yang pernah kucumbu itu tak punya pacar, gandengan atau malah tunangan! Kacamata minusku telah melindungi sepak terjangku, menurut para mahasiswa akulah si Cemen atau si Cupu dengan kekasih segala diktat dan buku. Akan tetapi, menurut kekasih mereka yang cantik-cantik itu, akulah tempat berlabuh segala duka dan luka karena cinta,” bathin Juan tersenyum lebar.

Masih diingat Juan, keringat lelah Sinta, peluh letih Linda dan wajah lepas bebas Yosy bak musafir gurun yang kehausan menemukan jernihnya air sebuah oase. Jelas terngiang ditelinganya, jerit Desi, erangan garang Dian dan lenguhan berat Tita sebelum tertidur sepulas-pulasnya. Di pelupuk matanya, masih ada terbayang banyak Ekspresi raut wajah korbannya ketika mereka ia bawa terbang ke puncak. Ia merelakan punggungnya menjadi wadah relief banyak kuku-kuku lentik korbannya. Ia sediakan jemarinya menjadi pelampiasan gigi-gigi ketimun mereka.Bahkan tak jarang rambutnya menjadi korban jambakan liar teman-teman wanitanya yang notabene, mereka itu adalah kekasih rekannya sesama mahasiswa juga.

Geli hati Juan ketika suatu saat Siska bertanya di tengah rasa rileks menikmati derasnya kucuran keringat, “Juan, kok kamu lain ya? Lebih mantap dari si Rio pacarku bahkan si Bram pacar pertamaku yang pebasket itupun ngak ada apa-apanya, lho?” Tertawa hati Juan, saat Kartika meratap padanya di meja kantin kampus, “Juan, sumpah deh, si Angga itu payah betul tak lebih dari 2 menit. Kapan lagi donk, Juan?”
Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat rahasia serupa yang meluncur dari bibir para korbannya saat mereka sakauw kecanduan.

Tak satupun dari para pecandu itu yang tahu bahwa ia sebenarnya seorang Casanova yang berhasil membantai seluruh anggota sebuah genk yang terdiri dari para mahasiswi hi-class. Tak satu katapun cerita tentang kisah asyik masyuknya keluar kepasaran. Ia, seorang mahasiswa kutu buku tak punya pacar, itu saja!

Menatap hasil sisiran rambutnya kedalam cermin almari kamar tidurnya, ingatan Juan melayang tatkala Bu Dosen Rara yang masih cuahaaanntttiikkkk dalam usia 33 -an itu meminta tolong untuk mengantarnya esok pagi ke Bandung. “Juan, Esok pagi kamu bisa tidak, tolong kemudikan mobil saya ke Bandung. Adik suami saya akan menikah disana bertepatan dengan hari Valentine. Saya khawatir, karena kesibukan mempersiapkan akad dan resepsi, suami saya, tak bisa datang menjemput. Bagaimana, bisakan kamu?”

Hampir saja mata Juan melompat keluar karena SureEEpeeraaAAiiisssezzz, jika saja ia tidak ingat, matapun harus terlihat lembut hingga para calon korban merasa nyaman dan aman. Juan, mengetahui betul kata nenek, “jika seorang pria berduaan dengan seorang wanita maka orang ketiganya adalah setan!”

Demikian halnya dengan Bu Dosen Rara, jika berduan dengannya esok hari, ia berharap ada seribu setan garong menemani demi kesuksesan misinya. Sekalipun sebenarnya Bu Rara itu adalah istri dari Dosen seniornya sendiri, ia tak peduli bahkan setanpun mendorongnya untuk tak peduli. itulah puncak karier seorang CASANOVA sejati, berhepi-ria dengan istri orang tanpa ketahuan!

Pagi 14 Februari, Juan memacu motor kreditannya kearah Mampang Prapatan, area dimana Bu Dosen Rara dan suaminya, Pak Dosen Senior bertempat tinggal. Tiba di depan elang rokok yang bersarang di pinggir mulut sebuah gang yang hanya cukup dilalui satu buah motor dan satu buah mobil, Juan menghentikan motornya.

“Pak, ada Getsbi,?” tanya Juan pada empunya elang rokok.

“Getsbi? O, ada? Berapa?”

“Satu saja, Pak,” jawab Juan seraya menyerahkan selembar lima ratusan bergambar kijang kencana.
Setelah menyeka wajahnya dengan perfume tissue, Juan menyemprot sekujur kemejanya dengan senjata andalannya, Drakar Noir.

Empunya elang roko terbengong-bengong melihat kelakuan Juan, hidungnya kembang kempis kebagian sisa uap dari Drakar.

Juan tak peduli, ia tahu benar, Drakar Noir adalah aroma therapy khas padang rumput Arkansas yang mampu mengeksploitasi sisi-sisi kejantanan pria hingga tampil lebih mudah untuk membangkitkan libido kaum hawa. Ajaib, tiba-tiba sekujur tubuh Juan dilingkupi oleh cahaya Ke-PeDe-an berwarna jingga keemasan.

Sekali lagi, empunya elang rokok geleng-geleng sambil berkelakar, “Tarik maaaaanngggg!”

Juan hanya tersenyum simpul. Di arahkan motornya pelan-pelan menyusuri gang menuju rumah Bu Dosen Rara seraya tak lupa berdoa dalam hati,”Semoga setan benar-benar hadir diantara aku dan Bu Rara, amin”

Berhenti di depan pagar sebuah rumah asri yang terbuka, Juan celingukan. “Huaaahh, kok ada 2 mobil? Wuaaahhh ada mobil Pak Dosen senior juga, gawat nih!” Kecut, Juan bersiap ambil seribu putaran roda motor (Untuk pejalan kaki : ambil seribu langkah).

 Terlambat! 

“Ahk, kamu Juan. Sudah datang. Hayo masuk,!” ajak Pak Dosen Senior dari balik kap mobil yang terbuka, rupanya beliau sedang mengutak-utik mesin mobilnya sebagai persiapan untuk perjalanan jauh luar kota. “Saya baru sampai dari Bandung subuh tadi. Ini lagi cek mobil, kan harus siap untuk dipakai balik ke Bandung lagi”

Juan mengangguk-anguk, kikuk. “Sialan doaku meleset yang datang bukan setan tapi jin tomang,!” rutuk Juan penuh sesal.

“Oh, kamu, Juan. Syukurlah kamu sudah datang,” tegur Bu Dosen Rara keluar dari balik pintu. Beralih kepada suaminya, Pak Dosen Senior, ia berkata manja, “Ayo, Pap! Sudah ada Juan, kita bisa segera berangkat ke Bandung sekalian berlibur 3 hari disana.”

“Olala, apa- apaan ini?” rutuk hati Juan tak mampu buka mulut.

“Gimana sih kamu, Mam? Juan baru saja tiba, kok belum ditawari minum malah ngajak segera jalan!”

“O, iya, Juan, kamu mau minum apa? Teh, Kopi atau Sirup?”

“Oh, ndak usah, Bu. Saya sudah sarapan dan minum susu tadi pagi, kok. Jangan repot-repot, Bu,” sahut Juan, tak enak hati sembari hatinya gerutu “Bah! Susu kuda liar ndak guna!”

“Ya, sudah kalau begitu. Nanti kamu bisa bikin sendiri, Juan. Soalnya kami akan bepergian 3 hari dan kamu jagain rumah saya, ya?” tukas Bu Dosen Rara riang tanpa dosa.

Pak Dosen menatap Juan dengan pandangan memohon.

Juan kagok tidak karuan segera anggukan kepala, “iya, Bu.Iya!”

“Kalau begitu, ayo kita segera berangkat,!” putus Pak Dosen sambil menutup kap mobil.

“Ini sudah siap, kok Pap. Vita, ayo cepat keluar! Kita sudah mau jalan nih,!” panggil Bu Dosen Rara.

Tak lama seorang gadis kecil yang berusia 5 tahunan, putri pasangan Bu dan Pak Dosen berlari keluar bak cinderela kesasar langsung masuk pintu depan mobil dan duduk manis disebelah jok kemudi.

Ketika mobil meninggalkan garasi, dari balik kemudi Pak Dosen berpesan, “Juan, baik- baik ya! Anggap saja liburan 3 hari di rumah sendiri. Jangan lupa kalau tidur kunci dulu garasi dan pintu depan, ya! Oh, ya anjing saya, si Bleki buntut kecil setiap pagi ajak jalan jalan muter-muter taman supaya tidak e’e di dalam. Jangan lupa makanannya ada di bawah kaki meja teras. Terima kasih ya, Juan. Daaaa….”

Juan melongo takjub sembari mundak- munduk gaya orang Jepang ketemu Boss. Jauh dipojok teras rumah seekor anjing Doberman dewasa berbulu hitam mengamatinya sembari menggerakkan ekornya yang cuma sepanjang 5 cm dan memamerkan taringnya,” Grrrr…! Jangankan 3 hari, sehari aje, gue abisin loe!!!”

Rumah Pandora di Lereng Merapi

“Ingat Dion, Bergeraklah dengan cepat dan segera balik ke mobil karena Merapi dapat meletus kembali sewaktu- waktu dan aku tak mau ambil resiko kehilangan nyawa karena menunggumu,!” tukas seorang pria kepada rekannya di bak belakang pick up tim SAR.

“Beres, Bos hasan, haha,!” jawab Dion singkat dan enteng. Matanya merayapi jalanan yang semakin menanjak, pick up SAR yang ditumpanginya menuju dusun terakhir yang perlu dicek ulang karena kadang masih ada penghuni yang bolak- balik ke dusun mereka dengan alasan ingin menyelamatkan binatang ternak ataupun sedikit harta benda pasca letusan Merapi.

Panorama hijau telah bersalin abu- abu, terlapis debu vulkanik.
Nyanyian burung bercengkrama telah berhari- hari tak terdengar.
Lereng Merapi kesepian, setelah melepaskan amarah, ia ditinggalkan.
Angin yang berdesir dari lereng mengisyaratkan ancaman kematian.

Pick up berhenti melaju.

Dion segera meloncat lincah dari atas pick up. Menjejakan kakinya di atas debu vulkanik, matanya menebar pandang. Sunyi dan abu- abu.

“Dion, segeralah cek tujuh rumah disekitar sini. Aku bersama supir akan menungu di depan balai warga ini. Ini dusun terakhir yang perlu di cek, setelah itu kita kembali. Radio panggilmu bisa berfungsi, kan,?” tanya Hasan si kordinator tim.

“Baik, San. Bila dua puluh menit aku tak kembali segeralah pulang, mungkin aku bertemu hantu cantik penunggu lereng, haha,!” jawab Dion sekenanya.\

“BlaAaArrRR,!” Merapi berbatuk  seolah menimpali canda Dion.

Hasan menatap cemas ke arah puncak, enam ratus derajat celsius panas debu bukanlah perkara main- main. Ia berharap angin tak membawa debu petaka itu ke arahnya. Ia ingin sedikit lagi bicara namun Dion telah berlalu menuju satu rumah yang terdekat dengan balai warga tempatnya berdiri.

Lima belas menit berlalu.

“Dion, sudah berapa rumah yang telah dicek, segeralah kembali, ganti!” pinta Hasan melalui radio panggil.

“Sudah semua ketujuh rumah dicek, San. Kosong semua, aman, ganti!”

“Ya, sudah tugas kita hari ini telah selesai. Cepatlah kembali, over!”

“Ada satu rumah lagi, San. Anehnya rumah itu tak tergambar di daftar awal padahal rumah itu persis di pinggir jalan. Agak jauh memang, sekitar seratus lima puluh meter dari rumah terakhir. Ada seekor anjing di depan rumah itu, jangan- jangan ada penghuninya. Minta tambah waktu sepuluh menit, over!”

“Baik, lekaslah, over,!” tutup Hasan matanya menatap lembayung senja diujung ufuk cakrawala abu- abu.
Si sopir terlihat bersandar di pohon pinus yang tiada lagi berdaun seraya mengisap rokok kretek, santai.
Sekejap pendar bara rokok membesar…..

…..Bara api di tungku perapian perlahan mulai padam.

Seorang pria muda umur duapuluh enaman melangkah masuk, rambut pirangnya menjadikan nuansa gelap ruang dalam perapian batu itu serasa lebih hidup.
1303026923945664399Bertelanjang bulat, membungkuk hormat dengan menekuk satu kakinya kebelakang, seorang dara tujuh belasan berkata, ” Yang Mulia Paduka Dauphin, terima kasih atas kesediaan tuan menemuiku, Joan La Pucelle dari Lorraine.”

“Kenakan pakaianmu. Kulihat engkau bersih tanpa senjata,!” jawab Sang Dauphin setelah yakin bahwa Joan sama sekali bukanlah perempuan belia gila yang perlu ditakutkan. “Kudengar engkau mendapat restu dari Tuhan untuk membawa kemenangan bagi Perancis?”

“Ya, Yang Mulia Paduka, demikianlah adanya,” jawab Joan seraya sibuk mengenakan model baju yang biasa dipakai para pria. Tak lupa,  rambutnyapun digelung pula agar terlihat pendek sebagaimana pria.

Menunggu Joan siap untuk bertanya jawab lebih lanjut, Sang Dauphin mengkorek- korek perapian mencoba mencari bara dengan pedangnya seraya bergumam, “Perancis sudah tak memiliki harapan lagi, Joan. Segala strategi dan kemampuan tempur dengan mudah dipatahkan musuh. Saranku untukmu Joan, lupakanlah aku, perang dan Perancis. Carilah seorang pria petani biasa yang akan segera mengawinimu dan hiduplah dengan tenang di bawah bendera Britanica raya.”

“Berilah padaku pasukan Perancis dan bendera, Yang Mulia Paduka. Kan ku menangkan Perancis untuk Paduka. Percayalah, Paduka akan segera dinobatkan sebagai Raja Charles VII di Katedral Reims walaupun kini tengah dikuasai musuh. Biarkan aku membuka jalan untuk itu, Paduka,” jawab Joan mantap seraya berdiri tegap dengan pakaian pria lengkap. Matanya menyinarkan kesungguhan.

“HAHAHAHA, Joan kau bisa saja mengolok- olok ku. Tak ada ruginya memberimu satu dua pasukan, tohk Perancis akan tetap kalah siapapun komandan perangnya, Musuh terlalu kuat, haha…,” usai tertawa Sang Dauphin menyarungkan kembali pedangnya, berbalik badan bermaksud melangkah pergi.

Namun, Joan berdiri tepat di depan hidung menghalangi langkah, “Katakan padaku, Paduka, aku harus bagaimana untuk paduka menaruh percaya?”

Menaikan alisnya Sang Dauphin berkata dalam gurau, “Haha.., datangkanlah saat ini juga, siapa saja orang yang belum pernah aku kenal yang bisa menembus penjagaan pasukanku di Castelo De Chinon ini, Haha! Bukankah katamu, engkau mendapat restu dari Tuhan untuk Perancis, HAHAHA!”

Dion tercenung, langkahnya tertahan. Suara tawa yang berkumandang ditengah padang abu menggidikan bulu romanya. Matanya mengawasi seekor anjing yang juga tengah mengawasinya, pemilik anjing itukah yang bisa tertawa dahsyat di tengah segala bencana ini, bisik hati Dion bertanya- tanya.

Mengetahui kedatangan manusia, si anjing spontan melengos acuh, lantas keempat kakinya memasuki rumah yang  juga menjadi tujuan langkah kaki Dion.

Dion benar- benar gusar, tak disangkanya di tengah ancaman letusan Merapi masih bisa ada manusia yang tertawa terbahak- bahak sedemikian kerasnya. Tanpa permisi dimasukinya rumah dimana anjing yang telah dilihatnya itu menghilang. Disiapkan amarahnya untuk dapat segera meledak, di detik pertama saat ia bertemu dengan si empunya rumah.

Empat pasang mata beradu pandang dalam kejut.
Si anjing meringkuk di kaki Joan, tak diduga olehnya Dion berani menyambanginya di hadapan majikannya.
Joan menatap Dion tak berkedip, hatinya berbisik lirih, Tuhankah yang telah megirim manusia berpakaian aneh dengan warna oranye bertuliskan SAR di dadanya itu?
Dion terlongo menatap dinding beraroma masa lalu di hadapannya. Terlebih, penghuninya seorang gadis dan pria Perancis dalam pakaian militer abad pertengahan.

Sang Dauphin tercekat menatap Dion seraya bergumam, “Kan ku berikan satu pasukan lengkap dan juga pedangku untukmu, Joan…”

Skandal Jalang Ken Dedes & misteri keris Mpu Gandring



Skandal Pertama Tanah Jawa
“Aku takut kangmas, nanti kita ketahuan Kuwu Ametung, ” ujar seorang wanita jelita seraya membenamkan wajahnya kedada telanjang seorang pria muda.
“Jangan takut, diajeng. Aku, Ken Arok akan melindungimu, Ken Dedes, dengan segenap jiwa dan cintaku,” jawab si pria, jumawa.
“Kuwu Ametung pasti tak akan segan membunuh kita berdua jika ia tahu, kangmas.”
“Ya, aku tahu, diajeng. Biarlah kita bersatu selamanya di alam nirwana jika memang itu yang akan terjadi,” lembut Ken Arok mengusap rambut hitam Ken Dedes yang tergerai lurus menutupi punggung mulus setengah telanjang berbalut selendang hijau.
“Ssrrt..”
“Siapa itu,?” bisik Ken Arok terkesiap didengarnya suara langkah menjauh. Naluri perwiranya membuatnya yakin bahwa ada sepasang kaki pengintai yang bergerak menjauh. Dilepasnya rengkuhannya pada Ken Dedes, segera dikejarnya langkah kaki itu.
Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes segera lompat ke pintu dalem Kaputren itu. Panik sekali ia menutup pintunya rapat- rapat. “Ahk, yang bisa masuk kelingkungan Kaputren ini hanya Kuwu Ametung dan pamanku sendiri, Mpu Gandring yang kini menjadi ayah pengganti, karena ayah kandungku, Mpu Purwa telah tiada. Kalaupun Ken Arok, ia harus melalui pintu belakang Kaputren yang hanya dapat dibuka dari dalam rumah kepala dayang, si perawan tua yang juga sudah ikut menutupi hal ini karena sudah diberi beberapa tail emas. Lalu siapa?” bathin Ken Dedes, gundah.
Ken Arok bergerak cepat. Sudut matanya sempat melihat sekelebat punggung orang yang menghilang di balik pintu gerbang yang di jaga ketat.”Mpu Gandring, sial! Tak mungkin aku melewati pintu gerbang Kaputren mengejarnya. Itu sama saja bunuh diri. AKu harus kembali melewati pintu belakang, tembus ke rumah si kepala dayang. Sial, ia pasti meminta setail emas lagi,” bathin Ken Arok menggerutu.
“Ken Dedes, aku tak menyangka kau berbuat seperti itu, ” bathin Mpu Gandring sedih seraya menaiki pedatinya meninggalkan Kaputren, kembali kerumahnya dipinggiran kota Tumapel. Sepanjang perjalanan Mpu Gandring menggeleng- gelengkan kepala, tak habis pikir.
Memasuki bengkel pembuatan keris yang sepi tak ada satu manusiapun, Ken Arok dengan tenang mendudukan diri di sudut dinding kayu yang agak gelap. “Akan kutunggu disini kau, Gandring. Masakan sepuluh tail emas tak cukup membuatmu diam tak bicara,” bisik hatinya, menyakinkan diri skandalnya tak akan pernah terbongkar.
“Siapa di dalam, ” tiba- tiba terdengar suara berat seorang tua menegur. “Aku tahu ada orang didalam karena setiap bepergian selalu kutinggalkan tanda yang hanya aku yang mengetahuinya, bila bengkelku sudah dimasuki orang. Keluarlah!” Mpu Gandring memasuki bengkelnya dengan menebar pandang.
“Aku, Ken Arok, Mpu,” akhirnya Ken Arok bangkit dari duduknya yang tersembunyi seraya menunjukan diri.
“Kamu! Mau apa kamu menginjak tanahku, hah! Pergi kamu! Aku tahu perbuatanmu dengan putriku anak dari saudaraku Mpu Purwa, Ken Dedes!” Mpu Gandring mengumpat tanpa tedeng aling- aling.
“Maafkan aku, Mpu. Aku dan Ken Dedes saling mencintai. Tak pantas rasanya si gendut tua bangkotan itu mengawininya,” Ken Arok membela diri sekaligus menunjukan kelebihannya dari Kuwu Ametung.
“Apa katamu? Kamu yang tidak pantas!”
“Tenang Mpu. Aku kemari meminta maafmu dan sekaligus ingin memberimu sepuluh tail emas ini,” bujuk Ken Arok lembut. Tanpa menunggu jawaban diangsurkannya kantung kulit berisi sepuluh tail emas yang sudah dipersiapkannya sedari tadi, sejak berusaha menyusul Mpu Gandring untuk tiba lebih dahulu di bengkel keris itu.
“Apa!? Kau pikir aku sudi memakan uangmu!? Uang haram! Uang skandal putriku tak akan sudi aku menerimanya. Bawa pergi dan kau juga enyahlah dari tanahku,!” sembur Mpu Gandring meledak.
“Mpu, kau tak mungkin membocorkan rahasia kami, karena itu sama saja engkau membunuh putrimu sendiri,” dalih Ken Arok mencoba untuk melunakan hati si orang tua pengrajin keris itu.
“Aku tahu. Tetapi anak muda enyahlah kau dari Tumapel atau kau akan mati! Kuwu Ametung memesan padaku sebilah keris yang akan menjadikannya raja terbesar di tanah Jawa. Dan esok keris itu akan selesai. Saat ia kemari untuk mengambil keris pesanannya, saat itu juga aku akan meminta maharnya, yakni jiwa kepala pasukannya, yaitu jiwamu, haha. Percayalah ia akan membayarnya untuk itu. Ya, Itu artinya engkau harus enyah dari Tumapel selam- lamanya jika ingin selamat.”
“Gila! Masakan mahar seperti itu?”
“Ya, anak muda. Terpaksa, daripada putriku terus menjadi sasaran napsu bejadmu itu!”
“Hmm.., baiklah Mpu. Izinkan aku melihat keris yang membuatku minggat selama- lamanya dari Tumapel itu. Izinkan sebelum aku pergi.”
“Tidak layak bagimu untuk melihat keris itu. Pergilah sebelum aku habis sabar, anak muda.”
“Aku tidak akan pergi, Mpu. Kalaupun aku harus mati, kan kubawa putrimu bersama. Biarlah Kuwu Ametung mengetahui segalanya. Biarlah aku dan Ken Dedes menyatu di nirwana.”
Mpu Gandring menatap Ken Arok lekat- lekat. Bila saja ia masih muda, pasti sudah diterjangnya pemuda kurang ajar ini. Beradu tatap, iapun melihat kesungguhan dan kekerasan hati Ken Arok. “Baik, demi putriku. Kau boleh lihat keris pesanan Kuwu Ametung dan setelah itu, minggat!”
“Baik, Mpu. Satria tak akan ingkar janji, ” tukas Ken Arok menyakinkan.
Meraba bawah tungku penggodokan batang besi, Mpu Gandringpun berkata, “Ini keris itu.” Dibukanya warangkanya, telanjang keris itu bersinar gemerlapan diterpa sinar mentari senja yang menerobos dinding kayu.
“Bukan main, luar biasa pamor dan luknya sungguh tiada duanya. Belum pernah kulihat keris seperti itu,” ujar Ken Arok seraya reflek mengulurkan tangan meraih keris yang masih berdiri menunjuk langit dalam genggaman Mpu Gandring.
Melambung hasil karyanya dipuji tanpa sadar Mpu Gandring membiarkan Ken Arok mengambil alih, keris dalam genggamannyapun berpindah tangan.
“Cress! Srapp!”
“Aduh apa yang kau. perbuat anak muda!” Mpu Gandring terkejut seraya tangannya memegang dadanya yang ngilu luar biasa tertembus bilah keris hingga melesak separuh badan.
“Terpaksa, Mpu. Terpaksa, aku harus membunuhmu.”
“Ter..kutuk kau anak muda, aku bersumpah…aduh dadaku.. akan bersemayam…di keris ini…se..lamanya…hingga terbayar 7 nyawa termasuk kau dan turunanmu…orhkgg,” Mpu Gandring melepas nyawa dengan mata membelalak menatap pembunuhnya tanpa kedip.
Di bawah bayang bulan purnama, seorang lelaki memacu kudanya kesetanan.Sampai tempat tujuan ditambatkannya tali kekang kudanya pada sebatang pohon randu. Melangkah meniti anak tangga ia berkata pelan, “Kepala dayang, buka pintunya. Cepat, sebelum ada yng datang, buka pintu”
“Srrt..klk” Pintu terbuka seraut wajah wanita setengah baya muncul dari baliknya. “Ken Arok, cepat masuk gila sekali kelakuan mu ini. Bagaimana jika ada yang tahu kau memasuki rumahku? Ingat kita belum nikah, apa kata mereka nanti?”
“Hush! Siapa yang ingin menikah denganmu, aku ingin ke Kaputren menemui Ken Dedes. “
“Gila! Bagaimana bila kau dipergoki Kuwu Ametung,?” desis kepala dayang ketakutan.
“Tidak akan, ia sedang ada di desa Kagen, mungkin esok baru pulang atau paling cepat tengah malam nanti. Sudah sana, buka pintu Kaputren, cepat!”
Di bawah temaram lampu minyak, dua insan bergelut liar. Dua napas memburu saling memacu.
“Brak!” Pintu dalem Kaputren terdobrak.
“Apa Ini!? Ken Arok!? Kau setubuhi istriku, kau sudah gila dan harus mati,” Tunggul Ametung menerobos masuk, mengagetkan dua insan yang tengah asyik masyuk itu.
Melepaskan pagutan dari Ken Dedes, Ken Arok segera melompat ke sisi ranjang. Menjamah keris yang berhasil dirampasnya dari Mpu Gandring. Mencabut dari warangka, Ken Arok tanpa basa- basi segera menghambur ke Tunggul Ametung yang masih terkaget- kaget atas kelakuan dua insan di mabuk cinta itu.
“Crappt,!” keris mendarat mulus di dada kiri Tunggul Ametung.
“Jahanaammm…,!” Tunggul Ametung melolong meregang nyawa, memegangi dadanya yang tertancap keris yang dipesannya sendiri, melesak hingga genggaman.
Ken Dedes menangis sesenggukan.
“Tenang, diajeng. Aku akan bersembunyi di balik pohon depan dalem Kaputren ini. Engkau berteriaklah minta pertolongan. Bila nanti ada prajurit pertama yang datang, berarti itulah pembunuh suamimu. Tinggal kau tunjuk hidungnya, dan ia akan segera kubunuh. Terlepaslah kita dari masalah ini. Apakah kau mengerti maksudku, diajeng,?” tanya Ken Arok penuh harap.
Ken Dedes menganggukan kepala, ia masih trauma dengan apa yang berlangsung di depan matanya yang masih sarat dengan linangan.
Seorang prajurit datang tergopoh- gopoh seketika mendengar teriakan minta tolong Ken Dedes yang mengguncang Tumapel. Berdiri di depan pintu peraduan Kuwu Ametung, ia terkesiap. “Siapa yang melakukan ini, paduka putri? Siapa?”
Ken Dedes tak menjawab, tangisnya makin menjadi.
Tak berapa lama peraduan itupun dipenuhi sekelompok prajurit yang masygul dan gamang. Mayat Akuwu mereka yang tertancap sebilah keris dan Ken Dedes yang masih meraung- raung menyebabkan mereka tak bisa bernalar jernih.
“Ada apa ini, ada apa!?”
“Ampun, Senopati Ken Arok. Paduka Kuwu terbunuh,” salah seorang prajurit menerangkan kepada Ken Arok yang datang tergopoh- gopoh.
Menatap Ken Dedes, Ken Arok membentak, ” Paduka putri, cepat katakan siapa pembunuh Akuwu kami, Tunggul Ametung atau kau akan kami bunuh karena tangismu itu!”
Ken Dedes tak bersuara. Perlahan tangannya terangkat menunjuk si prajurit yang pertama kali datang.
“Kebo Ijo! Kaukah pembunuh Akuwu kita!? Jahanam,!?” bentak Ken Arok garang telunjuknya menuding dahsyat.
“Bukan aku.., bukan.., Paduka putri..,” Kebo ijo menatap Ken Dedes kebingungan bercampur kengerian teramat sangat.
Sigap Ken Arok mencabut keris yang menempel di tubuh Tunggul Ametung yang telah tak bernyawa dan, “CreePP!”
Keris menancap dalam jantung Kebo Ijo.
“Arghh..,” Kebo ijo mengeluarkan erangan maut, nyawanya lepas.
Para prajurit terkesima.
“Cepat, kalian bereskan ruangan ini dan letakan jenazah Akuwu kita di pura. Esok kita akan adakan upacara penghormatan terakhir padanya.” Ken Arok mengeluarkan perintah membuyarkan kebingungan.
Tak lama setelah para prajurit itu berlalu sibuk menjalankan titah Ken Arok, Ken Dedespun tersenyum.
 

Arsip Blog

Cari/search

TRANSLATE

Tips