Ayo Bergerak Save DPD RI Untuk NKRI

Pasca kasus yang membelit Irman Gusman, carut marut DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) semakin mencuat kepermukaan. DPD RI terkesan gagal menjembatani perbedaan internal. Masyarakat melihat peran DPD RI semakin jauh dari harapan. Bagaimana tidak, DPD RI tetap bermaksud mengadakan kocok ulang kursi pimpinan pada Senin besok (3/4/17) meski, MA (Mahkamah Agung) melalui putusan No. 20P/HUM/2017 telah membatalkan Tata Tertib DPD RI No. 1/2017 terkait masa jabatan pimpinan DPD RI yang tertulis pada tatib cuma selama 2 tahun 6 bulan dan berlaku surut. MA dalam Amar Putusan yang diketuai Hakim Agung Supandi menyatakan, DPD berada dalam MPR satu rumpun dengan DPR sebagai lembaga perwakilan yang diatur UU No.17 Tahun 2014 dimana masa jabatan berlaku 5 tahun (mengutip : Media Indonesia, Kamis 30/3/2017). 

Sementara, Tatib yang berlaku surut itu secara otomatis akan membatalkan masa bhakti pimpinan DPD RI periode 2014-2019 termasuk membatalkan SK-nya para Wakil Ketua seperti Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhamad. Tatib itu melampaui batasan karena di dalam UU P3 (Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) kewenangan mengatur jabatan kenegaraan itu melalui UU bukan oleh Tatib, sebagaimana yang dikatakan oleh Anggota DPD RI, Anang Prihantoro (mengutip : kabar lampung, 29/3/17).   

Senada dengan Anang, Syamsuddin Alimsyah, Direktur KOPEL (Komite Pemantau Legislatif) Indonesia dalam diskusi bertajuk "Ayo Bergerak Save DPD RI" yang digelar -Aliansi Nusantara Save DPD RI- bertempat di Bakso Lapangan Tembak sore tadi (Minggu, 2/4/17) menyatakan, "Sikap DPD RI yang berkeras untuk melakukan kocok ulang pimpinan DPD RI berpotensi menimbulkan dualisme kepemimpinan. Ini akan menjadi preseden buruk dan merupakan pendidikan politik yang tidak baik bagi rakyat. Kemudian jika benar terjadi dualisme, terciptalah polemik yang berlarut-larut. Bagaimana DPD bisa melayani secara optimal daerah yang diwakilinya?" 

Sementara, Ketua Aliansi Nusantara Save DPD RI, Budi Sulaiman mencatat telah terjadi parpolisasi DPD. "Banyak anggota DPD RI telah menjadi pengurus parpol. Bahkan sudah ada 70 anggota DPD RI yang merapat ke Partai Hanura. Ini perlu diwaspadai, kedudukan mereka di DPD RI itu untuk sebenar-benarnya bertangung jawab mewakili kepentingan daerahnya bukan mewakili agenda partai politik. Jangan menimbulkan faksi-faksi yang tidak perlu demi keutuhan dan kemajuan NKRI," tukas Budi. 

Hadir juga sebagai Narsum dalam diskusi, Guru Besar Komunikasi Politik Univ. Budi Luhur Jakarta, Prof. Tjipta Lesmana MA. "Dalam berpolitik itu ada etika. Bukan bila tidak melanggar aturan perundangan, anda bebas dan boleh berbuat. Memang tidak ada aturan yang melarang anggota DPD RI menjadi bagian dari parpol. Tetapi, itu tidaklah etis! Sama halnya, tidak ada aturan yang melarang pimpinan negara bicara gelap-gelapan tentang bagi-bagi saham sebuah perusahaan di restoran, tapi hal itu jelas melanggar etika dan norma. Masyarakat bisa marah. Terkait dengan anggota DPD RI yang berafiliasi menjadi anggota parpol, masyarakat daerah yang diwakilinya jelas berhak untuk kecewa. Silahkan memilih, menjadi anggota DPD RI atau, lepaskan keanggotaan DPD dan silahkan bergabung dengan parpol. Itu baru politikus punya etika," tutur Tjipta Lesmana menutup diskusi. 

*******////*******