¤
Aristo tersenyum membalas WhAtsap say hay-nya Flo, sohib kentalnya
selama ini. Persahabatan dirinya dengan Flo terbangun semenjak akhir
tahun 80-an. Tepatnya, di masa awal perkuliahan. FLORIDINA. Sebuah gank
gaul tak terkenal yang terdiri dari tiga personal: Floreta, Aristo dan
Diana. Entah kemana nama yang satu terakhir ini. Semenjak Diana usai
menjalani wisuda Fakultas Ekonomi, Aristo tak pernah lagi mendengar
kabarnya. Dulu tak banyak orang yang punya handphone. Kalaupun ada,
hanya telephone mobil yang segede brankas. Ribet dibawa-bawa.
Facebookpun belum ada. Praktis, Diana lenyap tak berbekas.
¤
Diana
tak pernah sekalipun tampak di kampus. Bahkan, Diana tetap tak kunjung
muncul di saat Aristo tengah berjuang habis-habisan menjalani masa
karantina di Studio Gambar sebagai, syarat Tugas Akhir seorang calon
Arsitek, yang harus dijalaninya berulang-ulang karena, gagal, gagal dan
gagal! Tak terhitung berapa ribu lembar kalkir ukuran A1 yang terbuang
percuma. Tidak pernah ada lagi Diana. Hanya Flo yang terkadang
menjenguknya di Studio Gambar yang terletak di sudut sunyi gedung
fakultas itu.
¤
Menemui Aristo, Flo biasanya membawa aneka jenis
gorengan super awet berformalin yang digoreng dengan minyak padat
kolesterol campur plastik bening. Biasanya, Flo mengajak Aristo ngobrol
ngalor ngidul melupakan penatnya goresan-goresan Rotring sambil mulutnya
terus mengunyah gorengan yang tak lulus uji mutu maupun standart BPOM
itu. Herannya Aristo, Flo tetap semangat mengunyah gorengan disaat
DINKES gembar-gembor agar masyarakat jangan suka makan "mainan plastik
yang berbentuk gorengan." Dan, karena kecintaan Flo dengan gorengan
itulah maka, Aristo urung jatuh cinta, meski Flo wajah dan bodynya kalah
tipis dengan Sophia Latjuba. The Rising Star Indonesia di akhir 80an
itu.
¤
Beberapa hari lalu di Plaza Senayan, Aristo sebagai
Direktur Marketing Wings Corp. menyelenggarakan "Floridina Gathering."
Bukan FLORIDINA gank lawasnya, tapi Floridina minuman rasa jeruk Florida
asli Amrik dalam kemasan botol plastik yang nikmat ditenggak apalagi
dalam keadaan dingin. Seperti biasa, Flo datang bersama suami dan
anak-anaknya. Tapi, tidak Diana. Ya, Aristo tak akan pernah lupa, Diana
anak ekonomi yang kerap membantu perekonomian kantong mahasiswa non job
macam dirinya yang banyak tingkah dan ngak mau kalah gaya dengan
rekan-rekannya yang anak pengusaha papan atas di kampusnya dulu itu. Tak
terhitung berapa kali Diana menyelamatkannya dari gagal ujian hanya
karena satu sebab vital, telat bayar uang kuliahahaha!
¤
Riiing... tengah Aristo mengutak-atik Hpnya, telephone diatas meja kerjanya malah berbunyi.
"Maaf, pak. Di line bapak ada telephone masuk dari B2, pak...," ujar lina sekretarisnya dari ujung gagang telephone.
"Oh, ya terima kasih, "tukas Aristo, tak berani membuat lawan bicaranya si B2 atau BigBoss menunggu sambungan.
"Aristo..."
"Ya, pak..."
"Kamu
besok segera ke Hongkong, si Lina sudah mengurus segalanya. Sesampainya
di Bandara, kamu tunggu saja di ruang VIP dan jangan kemana-mana
sebelum datang orang yang membawa pesan...
"Tapi.., pak..."
"Klik..," telephone diseberang ditutup.
Aristo
termangu. Rencana liburan akhir pekan bersama keluarga kecilnya yang
tercinta buyar sudah. Aristo bergidik, membayangkan raut kecewa anak dan
istrinya.
¤
"SwIIIiiiIiiiNnnnGgggG," Sayap besi pesawat Garuda
baru saja tinggal landas melintas apron Airport. Aristo memesan kopi di
sebuah lounge executive. Menunggu. Aristo diserang suntuk. Berjam-jam
berlalu. Hanya tiga hal yang Aristo lakukan, ngopi, pesan makanan dan
bolak-balik buang air kecil ke toilet. "Gila sudah 5 jam di Hongkong,
belum ada siapapun yang menemuinya. Masak iya, ke Hongkong cuma disuruh
duduk berjam-jam di ruang tunggu VIP kemudian balik lagi ke Jakarta,"
rutuk hati Aristo.
¤
Tengah Aristo gundah gulana, merutuki nasib, seorang pelayan datang membawa ketel piala keperakan di atas nampan.
"Saya tidak pesan minuman, saya tidak haus," tolak Aristo ketus terbawa suasana hatinya yang merana.
Tak
memberikan bantahan, hanya menyunggingkan seulas senyum, si pelayan
menaruh gelas piala dan langsung mengucurkan teh kedalam gelas.
Di atas nampan bekas tempat ketel yang diangkat si pelayan terbaca tulisan, "Ditunggu di Ritz 308."
¤
Seusai
menuangkan teh, si pelayan meletakan ketel kembali keatas nampan,
mengangkatnya dan langsung berlalu tetap tanpa sepatah kata.
Aristo kembali termangu dengan sekelumit pikiran menggelayut dalam benak.
Ritz 308?
Apa maksudnya?
Apakah itu pesan seperti yang dikatakan BigBoss?
Jika bukan, untuk apa menunggu disini begitu lama?
Apakah harus telephone BigBoss hanya untuk memastikan pesan?
Ahh...
¤
Taksi tua warna kuning tua meluncur membelah Hongkong yang narsis dan egois.
Didalamnya Aristo terdiam sembari memandang rintik hujan yang membasahi kaca jendela taksi.
Membelok menuju lobby Ritz taksi berhenti tepat disamping pelayan hotel yang dengan sigap membuka pintu mobil.
Selembar uang kertas Dollar Hongkong berpindah dari tangan Aristo ke tangan pelayan hotel yang terbungkus sarung tangan putih.
¤
"Saya
ingin menelephone ke kamar 308," pinta Aristo dalam bahasa Mandarin
yang fasih pada gadis China yang sedang bertugas di balik meja bullet
recepcionist Ritz buatan Da Vinci.
Gadis China itu tersenyum ramah,
sebelum menjawab dalam bahasa Indonesia yang fasih dan mengejutkan, "Pak
Aristo, anda sudah ditunggu lama..., silahkan langsung saja naik ke
kamar 308 melalui lift disebelah sana, pak...."
¤
BERSAMBUUUUUUUUNNNGGGG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar